Harusnya detik ini, gue berdiri di depan pintu apartemen Nina. Gue berlutut memohon maaf disana, mencium kaki Nina dan berkata bahwa dia nggak perlu merasa takut karena gue akan selalu ada buat dia... dan anak kita.
Gila nggak sih? Anak?
Shit, gue bukannya nggak mikir sampai kesana ketika Nina memaksa gue lanjut entah di malam yang mana diantara beribu-ribu malam yang kita lalui berdua. Cuma pikir gue, Nina sudah begitu well-prepared ke dirinya. At least sama cewek-cewek gue sebelumnya, even Helen, gue nggak pernah khawatir ada janin tertanam di tubuh mereka.
Dan sekarang... Kalau dipikir-pikir, nggak etis kalau gue nyalahin Nina. Gue aja yang bangsat dan nggak ada excuse sama sekali.
Nina masih polos, harusnya gue ingat itu. Sebiasa-biasanya dia gelendotan manja sama gue dulu, seterbiasanya dia denger cerita gue tidur dengan mantan-mantan gue, dia sama sekali belum pernah mencoba.
Ibaratnya, dia over-limited dan gue dengan sadar ngelanggar batas itu.
Karena ketamakan gue akan Nina.
Dan kini... Kabar yang Vira utarakan pagi ini hingga sekarang entah jam berapa, masih berdengung di kedua telinga gue, membuat rasa bersalah gue makin besar sama Nina.
Cewek itu pasti lagi bingung sekarang. Apa dia nangis? Apa dia nyalahin gue? Dia nggak mau nerima janin di dalam perut dia? Sialan... Sama aja kan gue udah rusak masa depan Nina?
Nina punya impian. Dia pengen jadi program creative, dia pengen kerja di televisi hingga program yang ia bawa besar dan dikenal banyak orang, dan sekarang... Gue aja nggak tau apa yang harus dilakukan, apalagi Nina.
Anjing, kenapa sih harus terjadi hal seperti ini di saat gue dan Nina menuju 'baik-baik saja'?
"Rul, tambah 1 lagi!"
Ruli, bartender di club langganan gue ini, menatap ngeri ke gelas yang gue acung-acungkan ke arah dia.
"Yakin lo?"
"Bacot!"
Tertawa geli, Ruli dengan cekatan meracik Vodka Martini andalan gue dan menyodorkan gelas itu kembali sambil geleng-geleng kepala.
"Masalah berat?" tanyanya datar.
Gue melirik dan tertawa hambar. Persetan!
"Al!" seru Ruli sambil melambaikan tangan.
Mata gue menyipit mengikuti arah lambaian tangan Ruli dan samar-samar gue liat ada tiga Alden berjalan ke arah gue.
"Aldennnn ma brother!!!"
Al mendengus jijik ketika gue memeluk dia dengan erat.
"Udah berapa gelas, Ga?"
Gue melepas pelukan dan gue lihat Alden tengah berdiri menatap dingin ke arah gue, menyembunyikan berjuta pertanyaan dibalik mata elangnya.
"Satu?" kelakar gue.
Alden tidak ikut tertawa. Dia hanya memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
"Lo kesini mo minum? Ini... Ambil... Gue bayarin..."
Alden menolak gelas yang gue sodorkan. Dia mendekat ke telinga gue dan berbisik lirih, "Stop basa-basi. Lebih cepat lebih baik. Gue temenin kesana kalau lo nggak berani."
Balasan gue cuma tawa terbahak dan Alden semakin menatap kesal.
"Cuma itu doang? Pergi sana!"
"LO DENGER NGGAK, HAH? Orang yang udah lo tidurin hamil sekarang, dan lo malah mabuk nggak jelas gini?"
"LO NGGAK ADA URUSAN YA!" balas gue nggak kalah kasar.
Ruli yang sejak tadi berdiri membersihkan gelas-gelas minum mendadak menatap kami berdua takut.
"Are you okay, guys?"
"Yeah... Yeah... I am okay. I'm good. Chill, bro."
"Helen... Is she okay too?"
Mendengar nama 'pacar' gue itu, entah kenapa rasa bersalah di dada gue semakin besar. Sedetik kemudian, baru gue sadar bahwa Al sudah tersungkur di lantai club karena pukulan gue.
"ANJING!" maki dia. "Lo mau mati hah?"
*****
Gue menatap wajah Al yang lebam di beberapa tempat di tengah-tengah nafas gue yang memburu. Al pun sama... kemungkinan dia mengamati hasil karyanya di wajah gue dengan senyum meremehkan.
"Sampai pagi juga gue jabanin."
Gue berdecih kecil. "Muka babak belur gitu masih bisa sesumbar."
Al tertawa. "Heh, lo juga sama ya. Bibir robek gitu tapi masih bisa ngatain orang."
Gue dan dia saling pandang dan tiba-tiba kita berdua tertawa.
Lucu aja. Gue dan dia sampai harus adu jotos begini cuma mau bikin gue sadar.
"Jadi... gimana?" tanya Al hati-hati. "Lo kapan temui Nina?"
"Segera."
"Jangan kelamaan. Vira udah mencak-mencak dan..."
"Iya, gue tau."
"Sorry ya, kita berdua jadi ikut campur masalah kalian."
"Nina...baik-baik aja, kan?"
Al mengangguk kecil. "Dia ngurung diri di kamar, tapi dia oke kok."
"Kalau..."
Alden menanti gue.
"Misal..."
"Apaan dah?"
"Misal, dia nggak mau nikah sama gue..."
"Lo mau nikahin dia?" balas Al terkejut.
Ganti gue yang menatap dia dingin. "Lo pikir gue sebajingan apa sampai nggak mau tanggung jawab?"
"Y-yaaa maksud gue... Lo emang bagus sih, tanggung jawab penuh, t-tapi nikah... Well, gue pikir..."
"Gue akan nikahin dia."
Itu pernyataan dan gue pikir dari semua sahabat gue, Alden harusnya yang paling sadar betapa pentingnya hal ini. For God's sake, Nina hamil dan ada nyawa di dalam perut dia.
"Ga, gini lo... Nina kan masih ada Bayu. Lo nggak mau ngobrol dulu masalah ini sama Nina?"
Disinggung gini, jebol lah opini gue soal Bayu. Gue utarakan semuanya, termasuk pemikiran tentang berbahayanya Bayu untuk Nina dan bahwa rasa tidak suka gue akan kehadiran Bayu disini itu beralasan, bukan karena kecemburuan.
Sialnya, Alden tertawa.
"Najis. Lo pikir gue lawak?"
"Bukan gitu, sob. Tapi lo sadar nggak..." ucap Al di tengah tertawanya, "Dari semua orang di dunia ini, Nina bukan harus save dari Bayu. Malah, dia itu harusnya save dari lo."
"Maksud lo?"
"Lo emang temen Nina. Kita semua tahu. Tapi apa yang lo nggak tau adalah, sekali lo melangkah melewati batas yang lo buat sendiri, bukan Bayu yang harus diwaspadai, tapi lo sendiri. Lo ngerti?"
"Gue nggak ngerti."
Alden berdeham dan menepuk bahu gue pelan. "Cinta. Maksud gue cinta. Lo udah ngelewatin batas itu. Lo cinta kan sama Nina?"
![](https://img.wattpad.com/cover/200384700-288-k884784.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
HELLO, FRIEND
RomanceAda yang bilang jika sahabatan antara cowok dan cewek itu mustahil. Gue sih nggak setuju. Bagi gue yang punya sahabat cewek secantik Nina, nggak ada tuh perasaan-perasaan aneh selama hampir jalan 4 tahun kita sahabatan. Tapi gue rasa gue akan bisa k...