Di Hari H, Alden yang udah siapin semuanya ngasih komando. Subuh-subuh dia udah nelpon gue dan ngingetin kalau dia nanti nunggu anak-anak kumpul langsung di Villa. Gue yang udah janji mau jemput Nina dulu langsung cabut ke apartemennya.
“Lah? Kok baru bangun?” tanya gue begitu Nina buka pintu apartemen dengan muka bantal dan rambut yang acak-acakan.
"Kok lo udah dateng sih?" Protes Nina kesal.
Gue nggak jawab dan langsung masuk ke kamar ngikutin Nina yang kembali rebahan. Bukannya siap-siap, cewek manja satu ini malah naikin selimut dan siap tidur lagi.
“Woi, bangun. Lo mau kita kejebak macet?”
Gue narik Nina dan dia malah semakin membungkus dirinya dengan selimut.
“Bangun sekarang atau gue ceburin lo ke bath up sama selimut sekalian. Cepetan milih.”
Mendengus sebal, Nina akhirnya bangun dan duduk di kasur dengan ekspresi malas.
"Ini gue bangun!"
“Udah siapin bawaan?”
“Belum."
"Nin, lo kebiasaan ya..."
"Gue nggak tau harus bawa apa aja dan semalem gue nonton drama sampai pagi. Gue ngantuk, Egaaa.”
Menghela nafas berusaha nahan emosi, gue langsung ambil ransel dia yang ditaruh di atas kasur dan gue siapin barangnya. Gue termasuk sering main ke apartemen Nina. Meski gue nggak pernah nginep, tapi gue tau letak-letak barang di kamarnya.
Alhasil, gue ambil beberapa helai kaos dan celana ganti buat dia. Pas gue mau buka lacinya yang paling atas, Nina yang sejak tadi ngeliatin gue langsung berlari heboh.
“Stop! Stop! Stop! Lo mau apaaa?”
"Ambil underwear."
"Gila. Biar gue aja. Minggir."
“Kenapa? Malu?” tanya gue dengan senyum tertahan pas Nina dorong gue lumayan keras.
"You think?" Balas Nina memutar matanya jengah.
“I think, lo bau banget dan lo harus mandi sekarang. Gue tunggu di luar. Inget, nggak pake lama. Kalo lo nggak keluar dalam waktu 10 menit, gue susul lo ke dalam kamar mandi. Paham?”
* * *
Nina yang sejak perjalanan dari Jakarta hingga tiba di Lembang hanya menggerutu habis-habisan karena harus berjam-jam duduk di dalam mobil, mendadak langsung sumringah begitu mobil gue masuk sebuah pelataran yang gede.
“Ini Vila Alden? Wih, oke juga.”
Nina langsung lepas kacamata hitamnya dan keluar dari mobil. Ia keliatan takjub banget dengan pemandangan Vila Alden yang emang juara.
“Nanti temenin gue muter-muter ya, Ga. Gue pengen liat di sekitar sini ada apa aja.”
“Sorry, princess, gue males.”
Dan gue emang males. Udah beberapa kali gue main kesini, tentunya di masa kenakalan gue sama Alden di awal-awal masuk kuliah. Vila ini sendiri terbilang satu-satunya yang paling tinggi posisinya. Nggak banyak pula hunian di sisi kanan dan kirinya, hanya beberapa rumah warga yang pekerjaan sehari-harinya di kebun teh milik keluarga Alden.
Vira dan Alden keluar dari dalam Villa dan cewek itu langsung meluk Nina erat. “Nina... akhirnya lo dateng juga.”
Nina yang senyum dan berbisik lirih ke Vira, membuat dua anak itu ketawa bersama, dan menghilang dari pandangan gue sama Alden yang sedang ngangkut barang.
“Thanks God lo bisa bawa dia. Vira udah marah-marah, takut birthday party dia Cuma dirayain Vanes dan Kat aja,” ucap Alden yang kini bawa tas ransel berat milik Nina dengan senyum lebar dan wajah sangat lega.
“Gue terpaksa pake ancaman ngajak dia. Berdosa banget gue sekarang rasanya.”
Alden tertawa geli. “Kok bisa sih lo nyetir dia?”
“Lo kira Nina mobil?”
Gue menatap Al geli. Ada-ada aja omongannya.
“Maksud gue, Nina kan lo tau dia kayak gimana. Semakin dia diminta, semakin dia nggak mau.”
“Masa?” tanya gue heran. “Tapi sama gue dia nurut-nurut aja sih.”
“Nah, itu dia yang gue bingung.”
Percakapan gue sama Alden tentang Nina terputus karena beberapa pekerja bangunan terlihat membenahi beberapa ruangan.
“Belum selesai renovasinya?”
“Belum. Dan gue lupa ngomong sama lo. Ini nanti kita tidurnya di tenda. Kayak yang gue bilang kemaren, sekalian camping.”
“Villa nggak siap tempat gini lo minta kita datengin? Niat banget lo ngajak campingnya,” ejek gue yang disambut Alden dengan gurauan kecil.
“Demi cinta, brader.”
“Dimana nih camping yang lo maksud?”
“Di halaman belakang rumah. Ada lapangan gede kan disana. Nah, gue udah pasang tenda juga.”
Gue ikut Alden ke halaman belakang dan emang bener, nggak jauh dari sana, ada empat tenda berukuran medium sudah berdiri dengan rapinya. Anak-anak juga udah ngumpul, saling bercengkerama dan melambai melihat kehadiran gue.
“Lama amat,” sapa Dion yang saat ini sedang duduk tertawa-tawa kecil dengan Vanes dan Kat.
Gana yang ada disamping Dion juga berseloroh kecil. “Mana sayangku si Nina? Kok nggak keliatan?”
Gue noleh ke kanan dan kiri. Iya, Nina kok nggak ada? Ngilang sama Vira kemana dia?
“Ih, Gana apaan sih? Nina terus. Kan ada aku,” sahut Kat dengan tampang bete.
“Ya beda dong levelnya,” sahut Dion dengan tawa terbahak.
“Ega, sini gabung sama kita. Laper nggak?” tawar Vanes dengan belaian lembutnya menyibak dress yang dia kenakan.
Males menanggapi mereka, gue noleh ke Alden dan nanya dimana tenda gue yang udah dia pasang.
“Itu, yang pojok.”
“Trus tenda Nina? Gue mau naruh barangnya.”
“Itu, yang pojok juga.”
Alden mengatakannya dengan wajah tidak berdosa dan nada bicara yang sangat kalem, padahal sekarang ini gue lagi melotot sama dia.
“Itu tenda gue, bukan?”
“Iya. Kalian setenda.”
“Maksudnya?”
Alden memberi gue senyum meminta maaf dan berbisik pelan. “Kurang jelas ucapan gue? Lo setenda sama Nina. Gue Cuma bawa 4 tenda. Satu buat gue sama Vira, dua tenda buat Dion, Vanes, Gana, sama Kat, dan sisanya buat lo sama Nina. Kenapa? Lo keberatan setenda sama Nina?”
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
HELLO, FRIEND
Storie d'amoreAda yang bilang jika sahabatan antara cowok dan cewek itu mustahil. Gue sih nggak setuju. Bagi gue yang punya sahabat cewek secantik Nina, nggak ada tuh perasaan-perasaan aneh selama hampir jalan 4 tahun kita sahabatan. Tapi gue rasa gue akan bisa k...