Satu bulan ini, sejak malam durjana itu, malam yang diakhiri Nina dengan alasan sakit kepada Bayu, padahal dia lanjut bermalam di apartemen gue, termasuk berkali-kali aktivitas yang kita berdua sama-sama nggak bisa tolak setelahnya, membuat satu kesepakatan kecil diantara kami berdua : HAL INI TIDAK AKAN TERULANG.
Kesepakatan yang berhasil Nina buat dengan perdebatan panjang antara gue dan dia.
Tentu saja, Nina menang dengan segala argumennya. Dan gue... seorang yang selalu membanggakan rasionalitas otak gue ini, terpaksa setuju dengan apapun yang ia utarakan kala itu.
Gue memang berhasrat pada Nina, tapi gue lebih nggak mau kehilangan pertemanan yang udah kita berdua jalin lama. Jadi dengan berat hati, diantara cumbuan-cumbuan marah gue saat itu ke dia, diantara entah berapa benih yang gue tanam di dalam rahimnya, gue setuju untuk kembali berteman dengan dia. Meski pada faktanya, pertemanan kami tidak pernah lagi sama.
Gue masih saling bertukar kabar, tapi hanya sebatas tidak pernah saling menanyakan kehidupan cinta.
Gue masih saling bercerita, tapi hanya sebatas hal-hal umum yang layaknya diceritakan sepasang sahabat.
Hari itu, juga hari-hari sebelumnya di Villa Alden atau di mobil di pinggir jalan dari puncak, semua kenangan itu... hasrat yang menyala-nyala diantara kami berdua malam-malam itu, harus dikubur dalam-dalam.
Tidak ada penyesalan.
Sampai detik ini, janji itu terlaksana. Tapi... andai ada sebuah alat yang bisa memutar kenangan di otak, gue pasti akan jadi orang pertama yang membelinya. Setiap malam... gue berbaring nyalang dan hantu-hantu berisi desahan, lenguhan, bahkan bau wangi parfum Nina masih menari-nari jelas. Asli... itu penyiksaan yang ingin gue bunuh dengan cara apapun.
Literally... APAPUN.
Clubbing sampai teler dan nggak bisa bedain mana Dion mana Gana? Udah.
Melampiaskan hasrat membuncah gue ke Helen sampai dia nyerah? Udah juga.
Mandi air dingin tengah malem biar adek gue tidur setidur-tidurnya? Udah juga ANJG.
Terus gue harus apa kalau semua jurus andalan itu nggak mempan? Minum obat tidur? Bertapa? Jadi biksu? Alhasil, yang gue bisa lakukan ya cuma ini... kerja nggak kenal waktu di bengkel.
Hidup gue akhir-akhir ini bahkan berjalan sebelum alarm di hape gue berbunyi. Pagi-pagi gue udah gas ke kampus. Tiap ada tugas, gue jadi orang pertama yang jelasin beberapa hal kunci ke temen-temen sekelompok gue, siapapun kelompok itu. Bahkan, hari ini gue udah bongkar mesin yang kemarin lusa Profesor Fredy tugaskan sebanyak 3 kali.
Untungnya bagi yang lain, semua hal sama, dan jika pun sebenarnya berbeda, itu karena gue mungkin lebih banyak diam ketika mereka menyebut nama Nina. Untungnya, tidak ada yang curiga. Bahkan, Alden yang cukup baik menjadi seorang detektif pun cuma menilai ada pertengkaran kecil diantara kami berdua.
"Sabtu depan Oliv balik dari Berlin dan kita diundang ke pool party dia," ucap Alden dengan santainya sembari membenahi rangka mesin dalam.
"Olivia Barawinata?" balas Dion setengah berteriak kaget. Kepalanya melinguk keluar dari bawah kolong mobil yang sedang ia bongkar.
"Apa kita kenal Olivia yang lain?" balas Al skeptis.
Gana bersiul kecil. "Lo masih keep in touch sama Oliv?"
"Masihlah..."
"Menjalin persahabatan dengan mantan ceritanya?" ledek Dion.
"Dia bukan mantan gue."
"Vira apa kabar, pak? Nggak marah-marah dia?"
Sekali lagi, Al memberi tatapan memperingatkan ke Gana dan Dion yang dibalas dua anak tengil itu dengan tawa tertahan.
"Harus berapa kali gue cerita... Gue sama Oliv nggak ada hubungan apa-apa. Gue cuma sebatas anak kolega bisnis bokap dia. Kita emang pernah mau dijodohkan, tapi kita berdua sama-sama menolak. But we're friend. Sampai sekarang."
"Udaaaah, ga usah ngeles. Sebelum sama Vira, lo pernah suka Oliv kaaan?" ucap Dion.
"Lagian ya bro, yang belum kenal aja bisa lo lahap, apalagi temen yang udah kenal lama. No feeling, but still..." timpal Gana semakin menjadi.
Alih-alih Al yang marah dan gampar muka dua curut itu, malah gue yang merasa tersinggung. Gue nggak tau kalau mesin di depan gue udah gue sepak dan membuat mata ketiga sobat gue melotot terkejut.
"Mas bro???" panggil Al kalem. "Ada yang salah?"
Malu dan masih sedikit marah, gue lempar kunci inggris di tangan gue nggak tau kemana. "Gue cabut! Bacot dari tadi... Kerja nggak ada yang bener semua!"
*****
Gue berjalan dengan langkah lebar, mau menjauh dari kampus sialan ini, kampus yang di setiap sisinya berisi kenangan gue sama Nina, ketika lengan gue dirangkul dengan tiba-tiba.
"Sayangggggggggg!!!"
Gue balas tersenyum. Meski senyum cantik diantara dua bibir merah itu anehnya nggak membuat pikiran rumit gue sirna, tapi setidaknya amarah gue sedikit mereda. Helen, dengan segala sikap periangnya, mampu membuat hidup gue sedikit membaik detik itu.
"Kok diem aja?" tambah Helen kecewa.
"Lagi banyak tugas," jawab gue sembari mengecup singkat kepalanya.
"Tugas apa?"
"Aerodinamika. Puyeng."
"Nggak paham, tapi meski gue bukan anak teknik..." ucap Helen menggoda, "setidaknya pasti ada yang bisa gue bantu kaaan?"
Alis gue terangkat geli. Memahami maksudnya. "Lo mau bantu apa?"
"Kak Ega mau dibantu apa?"
"Mmm, apa ya kira-kira?"
Berjinjit untuk mendekat ke telinga gue, Helen berbisik kecil, "a hand job? With this tiny hand? Make you moan?"
Tersenyum tipis, gue menatap Helen dengan tatapan yang gue harap mengisyaratkan gue horny sama dia. Tapi entah kenapa, gue nggak bisa.
Sekali lagi gue ULANG... GUE NGGAK BISA.
BRENGSEK.
Detik itu, gue bingung cara jawabnya. Dan seorang Darren Gamaliel Harega harusnya nggak kebingungan soal ini.
"Kak Ega?" ucap Helen masih memandang gue dengan tatapan sayunya.
"Helen, gue..."
"Angkat dulu."
"Hah?"
Helen menatap gue geli. "Itu ada telepon dari tadi. Angkat dulu, kak."
"Oh iya iya."
Tanpa pikir panjang, tanpa melihat siapa yang menelepon, gue angkat.
"Halo?" sapa gue kasar.
Orang di ujung sana nggak kalah kasarnya. "Emang anjing lo ya... Brengsek banget jadi cowok!"
Gue cuma bisa cengo memandang layar ponsel gue. Nama Vira tertera disana dan gue sama sekali nggak paham maksud dia yang tiba-tiba ngomong kayak gini.
"Lo apa-apaan sih Vir?"
"Eh, anjing... Lo yang apa-apaan... Kesini lo sekarang. Gue nggak nyangka lo bisa setega itu sama Nina. Lo udah perawanin dia brengsek, seenggaknya lo tanya kek dia hamil apa enggak sebelum ninggalin dia. Anjing emang!"
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
HELLO, FRIEND
RomanceAda yang bilang jika sahabatan antara cowok dan cewek itu mustahil. Gue sih nggak setuju. Bagi gue yang punya sahabat cewek secantik Nina, nggak ada tuh perasaan-perasaan aneh selama hampir jalan 4 tahun kita sahabatan. Tapi gue rasa gue akan bisa k...