3.3 Inaguration Night 2

29K 519 78
                                    

Rupanya, pancingan gue berhasil dan Nina nggak ke toilet yang deket tempat pensi, melainkan ke toilet Fakultas Bahasa yang letaknya deket Ruang Himakom yang di malam hari kayak gini pun, banyak anak-anak yang masih nongkrong di ruangan itu.

Hampir sepuluh menitan gue nunggu di depan pintu toilet.

"Ega!"

Nina menatap terkejut dan detik berikutnya dia menggigit bibirnya panik.

Miss me?” balas gue datar.

Bibir merah yang pernah gue lumat itu mendadak menjadi satu garis lurus. Pertanda dia nggak mau komen lebih lanjut.

"Eh, mau kemana?"

"Minggir. Gue mau lewat."

"Bayar pajak dulu."

"Paan si?"

Emosi gue yang dari awal udah ada di ujung, yang sebisa mungkin gue tutupi dengan candaan garing, langsung keluar begitu Nina dorong gue. Seolah gue ini nggak worth it sama waktu dia, seolah kembali ke sisi Bayu adalah segalanya.

"Eh, Ega. Lo apa-apaan... stop narik gue. Ega! E..."

Gue bungkam teriakan panik Nina. Tepatnya, gue bungkam dengan mulut gue. Kita berdua udah berjanji buat berhenti melakukan apapun yang kita lakukan malam itu, tapi malam ini gue langgar.

Nina, yang entah kenapa pasrah aja, nerima ciuman gue dengan respon terbaiknya. Gue selalu suka saat Nina mendesah akibat sentuhan gue. Malam ini pun, di toilet ini pun, ciuman kami seolah-olah ingin melahap satu sama lain.

Lidah gue bertaut dengan lidah Nina. Tangan gadis itu merangkul erat leher gue dan tangan gue pun menarik tubuh dia mendekat. Gue mau Nina ngrasain bukti betapa hard gue malam ini karena dia.

"Stop..."

Nina mencoba menahan hujanan ciuman dari gue di sekujur lehernya. Gue nggak berhenti. Bahkan saat gue dengar ada yang tertawa di ruang sebelah pun, gue nggak bisa berhenti.

"Egaaa, stop. Gimana kalo ada orang?"

Permohonan Nina yang menunjukkan ketakutannya itu membuat gue berhenti. Gue tatap dia dan gue tersenyum kecil melihat kekacauan yang gue buat. Bibirnya sedikit bengkak, lehernya ada beberapa tanda merah.

"Oke. Pake ini dulu."

Nina nurut waktu gue pakaikan dia jaket. Ikat rambutnya gue tarik dan gue tutupin lehernya biar cupang buatan gue nggak keliatan.

"Mau kemana?"

"Udah, ikut aja."

Beberapa anak melihat ke arah kami yang keluar dari toilet berdua. Tapi untungnya, mereka nggak komen apa-apa. Gue bawa Nina beberapa langkah lebih cepat sampai cewek itu sedikit berlari kecil mengimbangi langkah kaki gue yang lebar.

"Ini kan..."

Gue mengangguk dan membuka markas UKM basket dan langsung menguncinya lagi.

"Duduk sini."

Nina menatap ngeri ke tepukan paha gue. "Lo nggak salah?"

"Duduk, Nin."

"Hah?"

"Kurang jelas? Sini, duduk di atas gue."

Dengan cemberut, Nina duduk di pangkuan gue dan gue peluk pinggang dia.

"Kenapa? Marah?"

"Nggak pake perintah-perintah juga bisa."

"Nggak bisa. Lo suka ngebantah kalo nggak digituin."

"Kapan gue begitu?"

"Really? Lo bener nanya ini?"

Kicep. At least, Nina sadar diri kalo dia emang suka membantah perintah gue.

"Jangan digituin bibirnya."

"Ke-kenapa?"

"Kita udah lama nggak ketemu. Dua minggu."

"Te-terus?"

"Kalo lo gitu terus, hawa-hawanya gue pengen cium aja."

Nina mendongak menatap gue dan dengan ragu-ragu, dia mengecup bibir gue singkat.

"Kayak gini?"

Brengsek. Sejak kapan Nina jago flirting?

"Apa tuh?"

"Cium."

"Itu bukan cium, Nina. Cium itu begini."

Dan begitu gue ngomong itu, gue cumbu Nina lagi. Gue teguk semua rasa dia dengan segala hasrat yang gue nggak tau ternyata bisa gue rasain untuk temen gue ini. Dua minggu teman-teman sekalian. Dua minggu tanpa nyentuh Nina membuat intensitas kebutuhan gue saat ini melesak.

Gue remas payudara dia dan gue ciumi kulit di atasnya dengan membabi buta. Nina mendesah keras. Tangannya tanpa sadar masuk ke dalam kaos gue, menyentuh otot perut gue, dan mengusapnya seringan bulu.

"Gue boleh nyentuh lo kayak gini kan?"

Gue tersenyum dan mengecup pelan hidungnya. "As you wish."

* * * * *

HELLO, FRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang