6.4 Settle Down

9.5K 335 4
                                    

Gue menghembuskan asap rokok perlahan. Pesta Olivia udah berlalu selama beberapa minggu dan selama itu pula gue mendengar desas-desus nggak enak. Desas-desus soal gue dan Nina. Biasanya di saat-saat begini, gue akan berbaur sama siapa aja dan membuat rumor itu jadi bahan guyonan, tapi sekarang gue udah macem bapak-bapak kompleks yang lebih milih rokokan sambil mikir berat gimana gue bisa bantu Nina.

Anjing lah.

Gue mabuk saat itu. Andai aja gue nggak ngomong apa-apa, mungkin ceritanya nggak akan kayak begini. Gue emang mau Nina, tapi bukan berarti gue bikin nama dia cemar juga. Gue sedang mempertimbangkan untuk ngobrol empat mata sama Bayu ketika gue nggak sengaja ngeliat Oliv dan Bayu masuk ke perpustakaan.

Nggak ada yang aneh. Tapi insting gue ngomong kalau gue harus ikutin mereka. Untuk pertama kalinya, gue masuk ke perpustakaan yang selama ini gue anggap sakral. Gue berjalan diantara rak-rak buku yang berjejer disana, menuju ke pojok paling sepi, pojok tempat toilet perpustakaan berada, dan gue denger sesuatu dari luarnya.

"Yes baby..." gue denger suara Oliv yang dipenuhi gairah.

Alis gue terangkat. Mereka selingkuh?

"Kamu suka?"

"Iyah..."

"I will fck you sampai kamu nggak bisa jalan."

Gue tersedak asap rokok. Kekehan kecil gue terdengar dan membuat desahan keduanya berhenti. Bahkan, gue nggak repot-repot untuk pergi.

"Lo jangan mau, Liv," ucap gue begitu Oliv membuka pintu, diikuti Bayu. "Fcking sampai ga bisa jalan itu butuh kerja keras banget lho. Terakhir kali gue nyoba sih, gue juga sampai sakit pinggang semingguan."

Oliv memutar matanya. Bayu sendiri tengah menatap gue datar.

"Gue nggak akan tanya kenapa kalian berdua masuk toilet bareng. Gue cuma mau tanya, Nina apa kabar?"

"Kenapa lo nggak tanya sendiri aja?" sahut Bayu.

"Mending lo jawabnya mikir dulu, Bay. Lo emang pacar temen gue, tapi..."

"Pacar?" ulang Bayu geli.

"Anjing..."

"...Gue nggak ada hubungan apa-apa."

Pukulan gue yang udah setengah melayang ke Bayu terhenti. "Maksudnya?"

"Shit, Bayu..." bisik Oliv. "Kamu diminta merahasiakan ini, inget?"

"Oh, aku - kamu nih udahan?" sahut gue penasaran.

"Tuh, Liv. Kamu liat," balas Bayu santai. "Dia udah paham. Kamu pikir Ega goblok?"

"Iya, tapi kamu jelas-jelas dimintai tolong kan?"

"Tapi kalau kayak gini keadaannya, aku juga nggak bisa..."

"Anj, kalian ngomong apaan?" bentak gue.

"Lo yakin mau tau?" ucap Bayu ke gue. "Ceritanya..."

Gue menatap Bayu tanpa berkedip selagi dia menceritakan semuanya. Detik itu juga saat ceritanya selesai, gue rasanya udah hilang akal. Nggak ada dari Oliv atau Bayu yang berbicara.

"Gue tau gue keterlaluan, Ga, tapi murni niat gue cuma membantu."

Gue menatap Bayu, membuatnya berhenti bicara. Tanpa banyak omong, gue mematikan rokok dengan satu kaki dan pergi.

"Ega, lo mau kemana?" teriak Oliv. "Anjing, lo jangan bikin anak orang luka. Ega! Woi!"

*****

"SIAPA BILANGGGG?"

Gue menghela nafas lelah. Seperti yang gue duga, Nina tetap teguh sama omongannya. Padahal Bayu udah jelas-jelas mengatakan semuanya. SEMUANYA, termasuk kenapa mereka berdua pura-pura pacaran, kenapa Nina nggak mau gue tanggung jawab, dan kenapa dia mau aborsi.

"A-apa... Bayu?" tanya Nina merasa kalah.

Gue mengangguk.

Nina jatuh bersimpuh di kaki gue. Isak tangisnya terdengar lirih. "Padahal jelas-jelas gue minta dia rahasiakan ini. Padahal jelas-jelas gue udah mohon sama dia... Kenapa..."

"Gue... bukan, maksudku, aku mau kita nikah."

Seperti yang sudah gue duga, Nina menggeleng keras. Dia berontak dan gue terpaksa cengkeram dia lebih kuat. Tenaga Nina yang nggak kecil membuat gue cukup kewalahan memeluknya.

"Ega, please..." suara serak Nina kala memohon membuat gue lebih nggak mau melepaskan dia.

"Nin... dengerin aku dulu."

"Nggak! Lo nggak akan ada bedanya."

"Kamu salah! Nggak semua cowok kayak papah kamu. Dan nggak semua cewek akan seperti mamah kamu. Aku bisa lebih baik. Kamu juga. Kita berdua bisa."

"Kenapa lo mau tanggung jawab hah?"

"Karena..."

"Padahal kita berdua cuma beban," ucap Nina mengelus perutnya. "Gue nggak mau hidup sebagai beban. Gue nggak mau anak ini hidup kayak gue. Gue bahagia sama nyokap gue. Tapi kalau gue boleh memilih, gue nggak akan ngasih kehidupan kayak gini ke anak gue. Ega, tolong..."

"Aku juga minta tolong... tolong kamu ngerti, kamu sama sekali bukan beban. Bayi ini juga. Gimana bisa dia beban, padahal banyak orang yang mengharap dikasih hal yang sama?"

Nina mendongak menatap ke gue. Airmatanya sudah berhenti.

"Mau ya, nikah sama aku? Aku sayang sama kamu, Nin."

"Bohong. Lo nggak perlu sampai kayak gitu."

"Kamu tatap mata aku. Kamu liat, apa aku bohong sama kamu? Selama kita kenal, apa aku pernah bohong sama kamu, hm?"

Nina menggeleng.

Memeluk Nina sekali lagi, gue mengecup lembut dahinya.

"Karenina Andaria Halsen, aku mau kamu tau kalau aku sayang sama kamu. Dan aku tau, thanks to Bayu, kalau kamu sudah suka sama aku sejak lama. Maaf aku bodoh karena nggak pernah sadar itu. Aku mungkin nggak bawa cincin sekarang, tapi dengan sepenuh hati aku tanya sama kamu, apa kamu mau nikah sama aku?"

*****

HELLO, FRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang