Bunyi tamparan cukup keras menggema di udara.
Gue terdiam.
Detik berikutnya, gue sadar... ada banyak belasan pasang mata terkejut yang tengah tertuju ke drama adi kuasa yang Nina tunjukkan, dan gue tiba-tiba merasa dorongan untuk menghukumnya.
"Gue mau kalian semua pergi!"
Al yang pertama kali paham dengan nada peringatan yang gue teriakkan. Tanpa banyak kata, ia menggandeng Vira dan pergi dari sana. Dion dan Gana pun sama. Dengan sigap, mereka mengosongkan sasana dan membuat tempat ini seolah tempat private kami berdua.
"Sini lo."
Nina sama sekali nggak melangkah satu inchi pun. Sorot matanya mengobarkan perlawanan, dan gue semakin tertantang untuk membuat cewek itu tunduk di hadapan gue.
Yeah, men and their ego.
Gue tau kalian semua, terutama cewek-cewek, akan protes begitu baca ini. But who care? Bukan rasa nyeri di pipi yang nggak seberapa ini yang bikin gue marah, tapi karena sikap Nina yang nggak menunjukkan respect ke gue. And i don't give a fck for that!
"Lo kesini apa gue yang kesana?!"
Nina memutar matanya. "Gue benci sama sikap bossy lo."
"For your information," ucap gue menirukan apa yang pernah dia katakan, "gue nggak keberatan disini sampai besok. Apalagi berdua sama lo."
Nina paham dengan maksud gue karena sekarang... langkah kakinya berjalan dengan lambat ke arah gue. Matanya bergetar, tapi harus gue akui dia sama sekali nggak kabur layaknya seorang pengecut.
"Gue udah tepat di depan muka lo. Sekarang lo mau apa? Balas gampar gue?"
Gue menggeleng pelan. Itu nggak akan pernah terjadi. For God's sake, gue dididik untuk nggak melayangkan tangan ke seorang wanita, dan gue masih memegang teguh prinsip itu.
"Jadi lo mau apa?"
"Gue mau... ini."
Dan dengan satu gerakan, gue menarik pinggang Nina dan menciumnya. Ia terkesiap dan mencoba melepaskan diri, tapi kedua tangan gue mengurungnya. Tubuh kami saling menempel erat, dan Nina tau kenapa dia harus lepas dari gue sesegera mungkin.
"Stop nolak gue," ucap gue serak.
Nina sama sekali nggak berniat bekerja sama dengan mulutnya, jadi lidah gue menggodanya perlahan. Gue menyusuri tepian bibirnya, memohonnya untuk membuka. Dia bergeming. Dengan kurang ajar yang emang gue sengaja, gue melarikan bibir ke sepanjang garis rahangnya, melumat mesra telinganya, dan turun ke sepanjang leher jenjangnya.
"Nggak!" elak Nina hampir histeris. "Nggak boleh ninggalin bekas... aw!"
Gue tersenyum miring saat Nina berhasil mendorong gue tepat setelah gue berhasil ninggalin bekas, nggak hanya satu, melainkan beberapa bekas sekaligus, di area yang sama di kulit di atas garis dadanya.
"Lo jahat banget sih!" teriak Nina hampir mau menangis.
Gue mengelap bibir seolah gue baru aja menyantap hidangan terbaik di dunia. "Thanks, baby."
"I am not your baby!" ucapnya dongkol, berusaha menarik ke atas blouse yang ia kenakan walau itu sia-sia.
Gue menelan senyum penuh kemenangan dan menampilkan wajah pura-pura menyesal. "Masih keliatan, beb."
"I-ini..." Nina menatap syok ke pantulan dirinya dari layar ponsel. "Nggak bisa ilang hari ini ya?"
"Paling 1 minggu... Atau lebih. Nggak tau juga. Nggak pernah mikir."
"1 minggu? Lo mau gue ngomong apa kalau ada yang liat hah?"
"Bilang aja kena gigit tokek."
"LO GILA YA?!"
"Nggak usah teriak-teriak juga kali, Nin. Lagian, apa susahnya bilang kita abis ciuman?"
"Ciuman itu dilakuin sama dua orang. Kalau cuma satu orang, itu namanya pemaksaan. Mati gue... Bayu bakal bunuh gue kalau tau ini."
Bayu? Really? Setelah apa yang gue saksikan tadi?
"Udah biarin aja. Bayu liat juga nggak akan marah."
"Gimana bisa pacarnya dicipok orang dan dia nggak marah?"
"Ya karena itu Bayu!"
"Dia nggak seburuk yang lo pikir."
"Kalau dia nggak buruk, dia akan jagain lo. Tapi dia diem aja kan tadi pas lo mau jatuh? Lo pikir gue nggak liat? Gue heran, bisa-bisanya suka sama cowok model begitu? Lo dipelet? Nyesel gue mukulin mereka buat cewek tolol macem lo."
"Maksud lo?" tanya Nina bingung.
"Nggak ada siaran ulang."
"Jangan bilang lo mukulin mereka semua karena gue?" Gue memilih untuk nggak menjawab. "Astaga, bener lo pukulin mereka karena gue?"
"Nggak penting ngebahas itu sekarang."
Setelah bilang itu, gue pergi sambil lempar jaket ke Nina. Nina mendengus lirih, seolah dia menegaskan kalau dia nggak akan termakan akting abal-abal gue.
"Ega, tunggu..."
Gue liat Nina berusaha menyamai langkah gue. Dia sedikit berlari kecil, memeluk jaket yang baru aja gue lempar, dan hampir tersandung tali sepatunya sendiri kalau aja gue nggak sigap nangkep dia.
"Lo bisa nggak kalau jalan yang bener? Lo sekarang nggak cuma tanggung jawab sama nyawa lo, tapi juga nyawa lain di dalam perut lo. Meski lo nggak suka, seenggaknya lo bisa cosplay jadi ibu sebelum buang dia."
"Y-ya gue nggak tau tali gue lepas."
Berjongkok, gue mengikat tali sepatu Nina. Gue berlama-lama disana, karena gue tau Nina tengah menunggu jawaban dari gue.
"Lain kali pakai sepatu flat. Biar aman."
"Iya," jawabnya sama sekali nggak terdengar jengkel karena gue omelin.
"Jangan pakai high heels juga. Nggak penting pakai heels ke kampus."
"Iya, nggak pernah pakai juga sekarang."
Gue melirik jaket yang masih Nina peluk. "Kenapa nggak dipake?"
"Apa? Oh ini... Mau gue pake, tapi lo udah pergi duluan. Gue takut ditinggal di sasana sendiri. Kan katanya disana ada hantunya. Kalau gue sendiri dan hantu..."
Nina berhenti ngomong karena gue ambil jaket itu dan memakaikannya ke tubuh dia. "Siniin tangannya... Satunya lagi."
Gue fokus bergulat dengan resleting jaket Nina ketika dia bilang maaf karena sudah marah-marah. Ia juga bilang makasih ke gue, meski dia juga ngasih ceramah kalau perbuatan gue nggak boleh diulangi.
"Kenapa ditarik resletingnya sampai mulut gue sih? Segini aja udah cukup," protes Nina menarik kembali resleting jaket hingga setulang selangkanya. Gue tarik lagi resletingnya sampai atas biar dia nggak banyak ngoceh lagi. "Ih! Segini aja! Pengap, Ega!"
"Biar anak gue nggak masuk angin. Udah, gue balik sekarang."
Kalau aja gue nggak noleh, gue mungkin nggak akan tau kalau Nina masih belum beranjak. Ia terdiam, menatap gue dengan pandangan tidak terbaca.
"Kenapa bengong? Nggak mau pulang?"
"Lo mau anter gue nggak?" Nina akhirnya bertanya.
"Nggak."
"Kenapa?"
"Karena lo pasti akan ceramahin gue lagi."
"Iya juga sih," jawab Nina, mengulas senyum tipis yang mau nggak mau membuat gue luluh juga. "Kalau gue ceramahin sambil traktir makan, lo nggak keberatan kan?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
HELLO, FRIEND
RomansaAda yang bilang jika sahabatan antara cowok dan cewek itu mustahil. Gue sih nggak setuju. Bagi gue yang punya sahabat cewek secantik Nina, nggak ada tuh perasaan-perasaan aneh selama hampir jalan 4 tahun kita sahabatan. Tapi gue rasa gue akan bisa k...