Epilog I

10.1K 335 15
                                    

Gue pikir gue bakal mati kehabisan darah karena kena pukul salah satu sepatu Tante Ria, atau seenggaknya dijedotin kepala ke dinding. Hal itu wajar mengingat gue udah tidurin anaknya sampai hamil. Dan gue pikir, sejelek-jeleknya gue, orang tua gue setidaknya bakal menghalangi gue dari upaya dibunuh secara brutal. Tapi nyatanya ekspektasi emang nggak pernah sesuai dengan realita.

Bukannya kena pukul sepatu Tante Ria, gue bisa mati karena darah gue nggak jalan. Udah hampir 3 jam gue duduk bersimpuh di kaki sampai kaki gue udah nggak berasa apa-apa lagi. Dan ironisnya, bukan Mama Nina sendiri yang bikin gue kayak gini, melainkan Bapak gue.

Ya, Bapak Gamal yang seorang purnawirawan TNI itu kayaknya nggak keberatan sama sekali kalau anak semata wayangnya ini mati. Terlepas dari mama gue yang udah berkali-kali ngelus dada bokap gue biar lebih sabar, nggak ada satu pun orang di ruangan itu yang berani ngomong. Bahkan, Al, Dion, dan Gana, yang gue ajak buat tameng gue, sekarang lebih memilih berdiri berjejer di belakang bokap gue nyari aman.

"P-Pak Gamal, saya udah nerima kok kalau anak saya dirusak, eh... m-maksudnya, dinikahin anak bapak," ucap mama Nina yang juga ikutan jiper.

"SAYA YANG NGGAK IKHLAS BU!" jawab bapak gue. "BISA-BISANYA LUTUNG INI NGAWININ NAK NINA? WONG NAK NINA ITU UDAH CANTIK, ANAK BAIK-BAIK. MEMANG KURANG AJAR KOWE -(KAMU)-! SINI!"

"Walah, sabar to pak..." ucap mama gue udah panik lagi.

"Lepasin, mah. Anak ini emang kalau nggak diajar nggak bakal kapok. Bisa-bisanya disekolahin malah hamilin anak orang. Masih mahasiswa bukannya belajar biar cepet lulus, malah bikin bayi. Bikin malu Papah kamu. Mau ditaruh dimana muka papah di depan mama Nak Nina? Dia nitipin anaknya ke kamu buat dijaga. Bukannya buat kamu hamilin. Dasar bajingan kamu, le..."

"Om, jangan pukulin Ega lagi," pinta Nina.

Bokap gue yang mau mukul langsung berhenti karena Nina sekarang berlutut diantara gue dan bokap.

"Nin, minggir. Kamu bisa kena gampar."

"Biarin... Aku juga salah kok. Kan kita kawinnya suka sama suka."

"Nina! Kamu jangan bikin tambah runyam deh," bentak Tante Ria yang kini tengah berpegangan erat sama mama gue.

"Kan aku bener, mah. Kalau nggak enak, aku juga nggak mau."

Al, Dion, dan Gana sibuk saling mencubit pipi masing-masing. Mereka mati-matian menahan tawa melihat jawaban Nina. Gue pun sama. Babak belur begini, gue masih bisa-bisanya ketawa ngakak.

"Tuh, Pah... Dengerin ucapan menantu Papah. Emang papah nggak bangga sama aku?" kelakar gue.

Sadar konotasi lain dari yang dia maksudkan, Nina mendadak memukul gue pelan. "Ega, bukan itu yang aku maksud."

"Tenang, sayang, kita semua disini udah dewasa kok. Kita paham. Iya kan pah?" jawab nyokap gue sambil senyum-senyum gemes.

Nina menatap malu ke bokap dan nyokap gue. "Om, Tante... bu-bukan itu yang saya maksud. Maksud saya enak itu soal pertemanan saya sama Ega. Selama ini dia yang paling ngerti saya. Jadi, i-itu maksudnya."

Gue pura-pura mikir keras. "Jadi maksudnya aku nggak enak?"

"Ega! Aku nggak mau ya nikah sama kamu kalau kamu tetep kayak gini."

"Jangan!" cegah nyokap. "Jangan dong, nak. Kamu harus nikah sama Ega. Nanti cucu saya gimana?"

Dasar Tante Ria, dia ambil ini jadi kesempatan. Dia maju meluk Nina dan bilang, "iya, jangan nikah sama Ega. Kita besarin aja anak ini berdua. Mama bisa kok biayain kamu dan cucu mama. Meskipun mama harus banting tulang, meski mama yang udah tua ini harus kerja sampai malam, mama nggak papa sayang."

"Mama, kok gitu?" ucap Nina mendadak sedih. "Jadi Nina nggak jadi nikah sama Ega?"

"Pah, Nina jadi nggak mau nikah. Papah tanggung jawab ya kalau Nina kabur sama cucu papah," desak mama.

Papah gue rasanya udah mau jantungan mikir kita semua nggak ada yang waras. Jadi alih-alih mukulin gue, dia langsung duduk di sofa. Pake adegan dramatis pula, yakni pegang kepala seolah mikir keras. Padahal jawabannya gampang, tinggal bilang 'iya, saya ijinin kamu nikah sama Nina'. Udah. Beres.

"Papah tanya sama kamu, memang kamu bisa nafkahin dia?"

Gue menegakkan bahu. Gue jawab dengan tegas, "Bisa."

"Dari mana? Dari uang papah? Meski kamu hidup lebih dari cukup, tapi itu uang papah. Kamu, sebagai kepala keluarga nanti, harus bisa menghidupi anak dan istrimu dari uangmu sendiri. Papah tanya sekali lagi, kamu bisa?"

"Bisa. Saya akan kerja, pah."

"Kamu pikir cari kerja gampang?"

"Gampang."

"Heh, mulutmu itu kalau ngomong dipikir dulu."

"Ega memang akan kerja, Om," jawab Al akhirnya. "Dia selama 2 bulan ini udah persiapkan semuanya. Saya saksinya. Siang dan malam dia nggak berhenti kerja. Selain udah diterima di salah satu perusahaan rekanan kampus kami, dia juga kembangin bengkel dengan kami bertiga."

"Bener, Ga?" tanya papah sedikit lunak.

Gue mengangguk. "Ega bagaimanapun tetap pegang ajaran Papah. Papah bilang laki-laki harus bisa bertanggung jawab. Sekarang Ega mau tanggung jawab. Masa Papah nggak ijinin Ega untuk jadi seperti apa yang papah ajarkan?"

*****

HELLO, FRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang