Gue memutar gelas pelan. Sejak tadi, gue cuma diam mendengar segala desing pertanyaan yang Helen lontarkan. Gue maklumi. Cewek mana di muka bumi ini, sejalang apapun dia, yang rela tiba-tiba diputuskan padahal sebelumnya nggak ada masalah apa-apa.
"A-aku nggak mau putus dari kakak."
Itu adalah penolakan ke sekian kalinya yang ia lontarkan hari ini.
"Keputusan gue udah final."
Dengan panik, Helen menggenggam tangan gue. "Apa karena kita udah lama nggak..."
"Lo pikir gue se-addict itu?" balas gue geli.
"Terus apa?"
Ya karena gue emang udah no feeling sama dia.
"Kita baik-baik aja! KITA NGGAK BERANTEM, NGGAK APA, KENAPA KAKAK PUTUSIN AKU?"
"Iya, we always good. Setelah ini pun, kita juga masih temen kalau lo mau."
Helen marah, menangis, dan gue nggak ngomong apa-apa kecuali stay. Gue temani dia. Bahkan, gue berniat keep her save sampai dia tidur, tapi rupanya ia memutuskan untuk memancing emosi gue, seolah omelan panjangnya masih kurang drama.
"Lo ngomong apa barusan?"
Helen menatap gue lekat. "Bener ini karena Kak Nina?"
"Nggak usah lo libatin Nina sama kita," peringat gue.
"Terus aku harus libatin siapa?"
"Gue punya alasan, Len. Dan dari semua alasan gue, lo paling tau gue ke-trigger karena apa."
Gue berjalan pergi dan Helen masih berusaha nyusul sampai ke pintu. "Kak, please..."
Tangan Helen yang mencengkeram lengan gue. Menghela nafas lelah, gue meraih tangan itu dan menggenggamnya. Helen tersenyum berterima kasih, tapi senyum itu lenyap saat gue melepas tangannya dan beranjak pergi tanpa menoleh sama sekali.
*****
Hal terakhir yang gue ingat adalah gue tidur di sofa ruang tamu apartemen Nina dan minum berkaleng-kaleng bir sebelum gue ketiduran. Bangun-bangun badan gue pegel semua. Nina emang tega. Udah berkali-kali gue protes dengan ukuran sofanya yang super mini itu, tapi nggak dia ganti juga. Hasrat gue ke IKEA buat beliin dia sofa udah nggak tertahan. Bisa-bisanya dia memaksa tubuh gue yang tingginya 180 cm lebih ini buat ngepas disana?
Mengerjapkan mata, gue duduk dan mendapati kepala gue tertempel kertas.
Gue beli sarapan. Jangan minum lagi.
-Nina-
Gue nggak sadar tersenyum. Nina bener-bener teman terbaik gue. Semalam, dia nggak ngomong apa-apa meski gue tau dia kepo sampai mampus. Pagi ini, dia udah keluar beliin gue makan padahal dia adalah orang paling mager sedunia. Nggak ada yang gue lakuin, gue memutuskan lanjutin film yang semalam baru gue tonton nggak ada 5 menit ketika Nina pulang dan langsung melempar gue dengan kaos yang ada di lantai.
"Pakai baju bisa kaliii."
Gue terkekeh. "Kaos gue yang ini kotor. Lo simpen dimana sih pakaian gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
HELLO, FRIEND
RomansaAda yang bilang jika sahabatan antara cowok dan cewek itu mustahil. Gue sih nggak setuju. Bagi gue yang punya sahabat cewek secantik Nina, nggak ada tuh perasaan-perasaan aneh selama hampir jalan 4 tahun kita sahabatan. Tapi gue rasa gue akan bisa k...