Epilog II

10.9K 308 7
                                    

Gue keluar gedung dengan bangga. Ini adalah puncak dari apa yang gue perjuangkan selama 4 tahun lamanya. Ralat, bukan 4 tahun. Hampir 5 - 6 tahun gue rasa. Selama apapun itu, gue tetep bangga dengan diri gue. Setidaknya, gue udah mampu berjuang sampai di titik ini. Sampai di momen dimana nama gue dipanggil pakai embel-embel S.T.

"Darren Gamaliel Harrega, S.T," ucap Rektor kampus gue. "Selamat sudah lulus."

"Terima kasih, Pak," balas gue penuh hormat.

Di sisa hari itu, gue dengan khidmat melalui semua prosesi sakralnya. Padahal gue adalah orang yang paling nggak betah duduk diem denger ceramah. Tapi kali ini pengecualian. Semua ucapan Rektor yang kerjanya tiap hari kalau ketemu mahasiswa abadi kayak gue cuma marah-marah mulu nanya kapan skripsi kelar, tetep gue simak. Rasanya, gue nggak pengen melewatkan satu momen pun disana.

Bahkan, gue nggak nunggu waktu lama buat menuju ke tempat support system terbaik gue menunggu begitu prosesi selesai. Di halaman tengah kampus yang jadi saksi hari-hari yang gue lalui disana itu, mereka berdiri menyambut gue.

Bokap sama nyokap gue, yang datang jauh-jauh dari Semarang cuma buat ngasih ucapan selamat ke anaknya yang ngerepotin tiap hari.

Alden, Dion, dan Gana, temen-temen terbaik gue yang rela tiap malam begadang bantu gue ngerjain prototype desain, yang mau gue ribetin dengan skripsi gue yang nggak kelar-kelar, dan yang tetep mau bolak-balik nemenin gue ke kampus buat konsul padahal mereka udah lulus duluan.

Gue melambai ke mereka dan yang bikin gue lebih bangga, mereka bersiul keras dan bikin kehebohan seolah gue menang nobel perdamaian. Brengsek emang. Malu banget, tapi bodo amat lah, bikin mata gue kelilipan aja.

"Selamat, sayang," ucap nyokap gue yang udah nangis haru.

Gue memeluknya. "Makasih, ma."

"Good job, le," ucap bokap gue memeluk gue bangga.

"I did it, pa," balas gue.

"Selamat bro," ucap Al menepuk bahu gue.

"Selamat, bos," sahut Dion.

"Selamat. Lo hebat," timpal Gana.

Gue memandang mereka semua. Rasanya ada yang kurang, dan andai aja gue bisa ngajak orang yang paling mau gue ajak hadir di wisuda ini, gue bakal lebih seneng lagi. Tapi gini pun gue tetep bahagia.

"Foto yuk," ucap Dion. "Gue udah setting kamera seharian sampai gue mau pingsan biar momen lo sempurna."

"Lebay banget," sahut Al.

Gue tertawa. "Thanks. Ini udah semua, kan? Yuk... kumpul... kumpul..."

"Lo yakin udah semua?" tanya Gana cengengesan.

"Iya," jawab gue yakin. "Emang siapa yang mau hadir?"

Papa sama mama gue saling lirik. Dion sama Al bersiul kecil, sementara Gana mengeluarkan ponselnya yang berdering.

"Halo? Vir?" ucap Gana senang. "Iya, lo dimana? Kita di tengah. Iya, oke sip, kesini aja langsung. Iya, kita tunggu."

"Vira mau kesini?" tanya gue nggak curiga sedikit pun.

"Iya, tunggu aja. Dia bawa kado istimewa katanya," jawab Al nggak kalah senang.

"Apaan dah? Pake bawain gue hadiah segala."

"Itu...!!! Vir!!! Woi... Sini!" teriak Dion semangat.

Semua orang langsung menahan senyum saat gue ikut noleh ke Vira.

"Ini..." gue kehilangan kata-kata saat Vira dan 'hadiahnya' sampai di depan gue.

"Selamat ya, sayang. Kamu hebat," ucap Nina dengan senyum tercantiknya.

HELLO, FRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang