3.4 Party is Over

24.4K 486 13
                                    

Rasanya... Surga.

Bahkan gue rasa malaikat pun saat ini iri sama gue. Jujur, gue nggak tau harus bilang apalagi. Ini pertama kalinya Nina sentuh gue sejak kita menghabiskan waktu berdua di mobil sepulang dari Lembang.

Harusnya, kalau gue masih punya kewarasan (dan Nina juga), hal ini sudah berhenti ketika kita sama-sama keluar dari dalam mobil di depan apartemennya kala itu. Kita sama-sama sepakat, meski tak terucap, bahwa apa yang sudah dilakukan akan terkubur dalam-dalam. Selanjutnya, kita kembali berteman normal.

Tapi salahkan Nina, dia dengan anehnya malah ngehindar dari gue mati-matian. Gue marah, tapi nggak tau kenapa di dalam hati gue juga sedikit lega. Hari-hari yang gue lalui tanpa Nina membuat gue berpikir ulang.

Brengseknya, semakin gue berpikir, semakin gue nggak bisa menahan diri buat nggak menemui Nina.

We can't getting back to normal, really.

Bahkan sekarang pun, di saat semua orang di kampus ini tau siapa pacar gue dan siapa pacar Nina, kita berdua sama-sama tidak berhenti.

And right now, down there she is doin' a good job.

"Ouhhh..." Gue mendengar desahan pelan gue sendiri.

Nina, sama sekali nggak sopan, mengulas senyum diantara mulutnya yang bermain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nina, sama sekali nggak sopan, mengulas senyum diantara mulutnya yang bermain. Menghisap, memutar, dan menggigit kecil. Pejaman mata gue nggak bisa mengubur siksaan nikmat yang gadis itu berikan. Dengan bergetar, kedua tangan gue yang bebas sedikit menahan dan mengarahkan kepalanya.

Jika gue harus menyebut satu hal yang paling gue suka dari Nina adalah karena gadis itu penurut. Gue tahu Nina malu, tapi dia nggak menyembunyikan diri. Sebaliknya, dia terima arahan gue dengan patuh. Kini, dia hampir melahapnya habis dan gue bener-bener merasa bahwa gue pendosa laknat yang udah nggak bisa diselamatin lagi ketika gue lepas.

Dengan pelan, Nina mengelap mulutnya. Gerakan samar, refleks, tapi cukup membuat api di dalam diri gue seolah disiram minyak.

"Ga, pelan-pelan..." rengek Nina ketika gue mendekap tubuh dia dan menempelkan bagian tubuh gue yang mengeras.

"Salah siapa?" bisik gue parau. "Gue turn on. Gue lagi butuh."

"Nggak! Stop..."

"Stop?" ulang gue nggak percaya. "Lo udah buat gue kayak gini dan lo bilang stop?"

Nina bungkam. Tubuhnya bergerak dan seakan hendak pergi dari dekapan gue.

"Nin..." pinta gue frustasi.

"Bayu udah nunggu."

"Bisa nggak lo nggak sebut nama dia?!"

"Apaan sih?"

"Gue nggak suka lo sebut nama itu. Dia udah bikin gue kehilangan lo."

Cara gue ngomong yang penuh dengan emosi ini mungkin yang membuat tatapan Nina melembut. Dipegangnya pipi gue dengan senyum tipis sembari dia bertanya, "Lo mabuk ya?"

HELLO, FRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang