17. Bersalah

7 1 0
                                    

Di sekolah

"Duh, mampus ! Gimana nih, aku lupa lagi nggak telfon Farel setelah pulang dari mall. Ah dia pasti tambah ngambek deh, udah ah aku tunggu dia di kelasnya aja", batinku saat turun dari mobil di gerbang sekolah.

Ntahlah, aku merasa sangat tak tenang karena baru kali pertama ini aku lalai. Lalai? Selebay itukah? Menurutku "Ya". Aku tak pernah lupa sehari pun untuk mengabari Farel. Saat dalam kondisi seperti sebelumnya, bahkan biasanya aku langsung menghubunginya ulang. Perasaanku benar-benar tak tenang dibuatnya.

Akupun berjalan sendirian menuju ke kelas dan memilih menaiki eskalator daripada tangga atau lift. Saat ini memang masih agak pagi, jadi belum terlalu ramai sehingga aku bisa menggunakan eskalator.

Sesampainya di lantai 2 aku langsung menuju ke kelas Farel. Ya, tanpa meletakkan tasku terlebih dulu di kelas, toh kelas kita bersebelahan. Saat bel berbunyi aku bisa langsung bergegas keluar kelas tanpa harus terlambat.

Sesampainya di kelas Farel, aku lalu duduk di kursi Farel. Teman sekelas Farel melihatku bingung saat melihatku di kelas mereka, tak sedikit dari mereka lalu menyapaku. Mereka tau aku pasti menunggu Farel atau Lashon. Aku hanya duduk memainkan HPku sampai Raid, Dane, dan Gab datang.

"Widih, ngapain lo Li di kelas kita? Tumben", tanya Dane lalu duduk di sampingku yang sedang memainkan hp.

"Hooh tumben banget. Cari Lofa apa Cair?", tanya Raid membuatku menatapnya.

"Nggak boleh ya panggil mereka kayak gitu, yang boleh panggil cuman aku sama mereka", ucapku tegas.

"Iya-iya maaf, habis lucu sih panggilan mereka", kata Raid.

"Trus, kamu ngapain Li? Udah sarapan?", tanya Gab memandangku.

"Udahhh", aku mengangguk. "Aku nungguin Farel, dia ngambek sama aku. Sedih deh", kataku lalu cemberut.

"Tumben si Farel bisa marah sama lo Li, kenapa?", tanya Gab.

"Dia marah gara-gara aku lupa nggak kasih kabar dia, trus bikin dia khawatir", jelasku lalu ntah mengapa aku malah merasa sangat bersalah lalu merasa ingin menangis.

"E-eh, jangan nangis dong Li. Ntar kita diceramahin sama pawang lo", ucap Raid.

Ntah mengapa aku malah semakin ingin menangis sampai akhirnya air mataku mengalir begitu saja. Gimana tidak, aku berfikir Farel tak akan menceramahi mereka karena Farel kan sedang marah padaku.

Ah, rasanya aku ingin Farel memarahi mereka saja.

"La-la lah.. kok lo malah nangis sih Li, kita kan nyuruh jangan nangis", kata Dane tergagap.

"Jangan nangis dong Li, kita bingung nih harus apa. Gue nggak tau caranya cup-cupin lo kayak biasanya Farel sama Lashon", kata Gab.

"Huuaaaa, aku harus gimana? Farel marah, huaaa", kataku sambil menangis aku tak peduli teman sekelas Farel yang lain menatapku aneh.

Teman sekelas mereka memang saat ini sudah memandangi aku yang tiba-tiba menangis. Bahkan tak sedikit dari mereka saling berbisik tentangku, aku tau tapi masa bodoh tentang itu. Aku hanya ingin Farel saat ini.

Tak berselang lama setelah aku menangis sesenggukan, Dane menepuk-meluk punggungku. Dane mencoba menenangkanku, memberiku rasa nyaman dan tenang. Tapi itu tak membuatku bisa menghentikan air mataku dan dadaku yang tak tenang..sesak rasanya. Sesampainya ada 2 orang yang sedang mengobrol masuk ke kelas lalu melihat ke arah seorang wanita yang mereka kenali, menangis di kursi meja paling ujung kelas.

"Loh, Li.. Lo kenapa?", tanya Lashon berlari ke arahku saat dia sedang berjalan bersama Nizar memasuki kelas.

Nizar juga bermuka khawatir seperti Lashon, tapi dia tetap berjalan seperti biasa hanya agak cepat.

"Huaaa Cair huaa tol-tol-hiks"

"Tol-tol apa sih Tis, jangan nangis dulu.. gue jadi mikirnya jorok kalok lo bilang tol-tol", jawab Lashon.

"Hiks..hiks.. ko-kokk mikir jo-jorok? E-emang ap-a hiks?", tanyaku.

"Y-ya ya gue fikir tol itu-", jawaban Lashon terpotong oleh toyoran Nizar dari belakang Lashon.

"Urusin Lian tuh nangis kenapa, bukan malah mesum", kata Nizar.

"I-iya! Kenapa sih ni Lian Dane?"

"Kagak tau gue, kita-kita baru nanyain kenapa pake nunggu lo sama Farel di sini. Eh dia malah mewek", jawab Raid.

"Yang ditanya siapa yang jawab siapa", gumam Dane.

"Lian sih tadi bilang nunggu Farel", jawab Gab.

"Hiks..hiks.. Farel hiks dimana? Hiks", tanyaku karena biasanya Nizar dan Farel datang bersama.

"Bukannya Farel ke-", jawaban Lashon terpotong.

"Farel kan izin pulang ke Rusia Li, bulanan", jawab Nizar yang kutau Farel sedang ada misi.

"Bolos terus dia tiap bulan, heran gue", celetuk Dane.

"Hiks.. kenapa Lofa hiks nggak hiks izin hiks sama aku hiks hiks. Aku hiks hiks jahat banget ya sama dia huaaaa"

"Cup cup Li, jangan nangisss. Gue udah nggak bisa cium lo sembarangan nih kalok di kelas, nggak enak kalok ada yang laporin ke Chala. Ntar aja ya lanjut nangisnya di rumah lo, gue nginep deh lama juga gue nggak nginep di rumah mamah. Tidur bareng juga deh kita berdua, serah lo mau apa in gue. Tapi jangan nangis", kata Lashon.

"Hiks..Lofa marah sama aku Cair, hiks hiks dia pasti kecewa sama aku hiks. Lo-Lofa bilang Me-Metiss beberubb huaaa", jawabku.

"Nggak, dia nggak gitu. Selama ini kan Lofa yang paling care sama lo, dia kalau marah karena dia sayang sama lo Metis. Dia nggak mau lo kenapa-kenapa you know it", jelas Lashon.

"Hiks tapi hiks dia aja hiks pergi nggak pamit hiks hiks, pa-padahal semarahnya dia sama aku hiks hiks hiks dia pasti hiks selalu bilang hiks hiks"

"Udah Li, mungkin dia lagi cepet-cepet", Nizar ikut menenangkanku.

"Iya tuh bener", ucap Gab, Dane, dan Raid.

"Hiks hiks mau hiks Farel hiks sekarang"

"Lofa pergi sayang, udah ya..ayo cuci muka, malu tuh diliatin", kata Lashon.

"Iya Li, udah..pulang sekolah kita telfon Farel ya", kata Gab.

"Yuk, gue temenin cuci muka di kamar mandi yuk", kata Lashon lalu menarik tanganku untuk keluar kelas menutupi mukaku dengan badannya yang besar (seperti memitingku).

Aku hanya pasrah mengikutinya ke kamar mandi, mencuci mukaku. Aku belum lega, malah semakin tak karuan rasanya. Perasaan ini seperti tak enak, tak nyaman, dan ditambah khawatir karena Farel menjalani misi saat dia emosi. Aku takut terjadi sesuatu pada Farel.

Aku mencuci mukaku di toilet, sedikit membenahi dandananku juga dengan bedak dan liptint yang selalu kubawa di tasku. Tak lupa aku memakai kacamata bacaku yang kugunakan saat pembelajaran di sekolah. Setelah selesai, Lashon akhirnya mengantarku sampai bangkuku. Dia juga  menitipkanku pada geng-geng sekelasku. Geng kelasku sempat menanyakan alasanku menangis, tapi kuurungkan untuk menjawab pertanyaan mereka mengingat ini memang urusanku dan Farel saja.

.

.

.

.

.

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang