12. Dekat - Semakin Dekat

1 1 0
                                    

LASHON POV

Saat aku sedang makan makanan yang aku pesan, aku mendengar suara hp Farel berbunyi lalu dia mengumpat kecil. Aku tak merespon Farel, aku melanjutkan makanku karena aku tau Farel tak suka dicampuri urusannya dan kufikir itu bukan urusanku.

Setelah itu, kurang lebih 2 menit bunyi notifikasi hp Farel tadi.. Farel kembali mengumpat, kali ini lebih keras dan nadanya lebih dingin dari yang sebelumnya.

"Merde!" umpat Farel yang kudengar, akupun menoleh ke arahnya yang tepat di sampingku.

"Ada apa?", tanyaku pada Farel karna terlanjur kelo.

Kulihat Farel meletakkan hpnya kasar di tengah meja. Ternyata dia menunjukkan CCTV kantin, dimana Lian sedang dijambak oleh seorang perempuan.

"Shit!", umpatku lalu berdiri ingin beranjak menolong Lian.

"Tetap duduk Lashon, Lian mengatakan agar kita menghabiskan makanan kita baru dia memperbolehkan kita ke sana tanpa boleh ikut campur. Tapi kalau memang Lian sudah menjadi dia dulu, aku akan menghentikannya" ucap Farel lalu menarikku untuk duduk lagi.

"Maksudmu, Lian yang dulu apa? Dia pernah tak terkendali?" tanya Nizar pada Farel lalu dijawab anggukan.

"Memang dia pernah seperti apa?", tanya Gahar.

"Dia pernah hampir membunuh dengan tangan kosong, 1 kritis sampai koma 1 bulan dan 2 orang dikondisi parah saat di Middle School. Dia tidak terima temannya dibully sampai temannya harus pindah sekolah, saat itu Lian tak tau bahkan temannya tak memberi tau dia hanya karna dia merasa tidak pantas berteman dengan Lian yan-" ucapanku terpotong oleh Farel.

"Kau sudah menceritakan terlalu jauh Lashon" ucap Farel dengan suara rendah tak suka dan menatapku tajam.

"Shit! Hampir saja aku membongkar identitas Lian! Bodoh!", batinku.

"Apa? Kenapa?", tanya Ben merasa aneh Farel tiba-tiba berbicara formal. "Sebenarnya siapa Lian?", batin Ben bertanya-tanya.

"Tidak bisa, aku hanya bisa menceritakannya sampai disitu", ucap Lashon.

"Apa Lian semengerikan itu?", tanya Raid karena bingung kosa kata kedua sahabat itu berubah formal.

"Kurasa Lian tak sejahat itu, dia hanya tidak terima temannya dibully", ucap Tio.

"Yap, gue setuju tuh", kata Dane.

"Saat itu Lian memang murka, dia tak pandang bulu siapa yang berhadapan dengannya bahkan mungkin anak Hakim sekalipun akan tetap dia serang", kata Farel.

"Dan yaa yang dikatakan oleh Tio benar, dia bahkan akan mengorbankan dirinya untuk orang yang dia sayang", lanjutku.

"Keren!", ucap Gab. "Apa aku sudah dianggap orang yang dia sayang?"

"Mungkin. Orang terdekatnya biasanya adalah orang yang berharga untuknya. Menurutku dia telah menganggap kalian sahabatnya", ucapku karena kurasa Lian mau berbaur dan dekat dengan mereka.

"Tunggu, tunggu, jika Lian tak dipenjara atau dihukum berarti sebenarnya Lian bukan orang biasa?", tanya Dennis yang dari tadi hanya diam dan memikirkan itu.

"Semua sudah selesai makan kan? Ayo ke kantin, Lian sudah hampir emosi" ucap Farel dan mengeluarkan dompetnya mengambil 3 lembar uang seratus ribuan membayar makanan yang geng kami makan. Akupun langsung beranjak berlari untuk menuju kantin.

Sesampainya di kantin kulihat Lian sudah berdiri, dan menggunakan bahasa formal. Aku tau jika dia seperti itu tandanya Lian sedang mengendalikan emosinya antara sadar tak sadar. Aku hanya menunggu Farel yang memulai terlebih dahulu, karena aku tak yakin bisa menangani Lian ketika emosinya memuncak.

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang