D u a B e l a s

1.5K 142 13
                                    

"Adik saya lebih berhak buat bahagia."
~Latisha~

~Happy Reading~

***

"Kamu serius dengan semua ini, Nak?" Dokter Anin menatap sendu Latisha. Ia baru saja selesai membaca berkas berisi keterangan tentang pendonoran mata Latisha ke adik kandungnya.

"Ya, Dokter. Demi Alisha, saya bisa ngelakuin apapun untuk kebahagiannya," balas Latisha disertai dengan senyuman yang tulus.

Tak habis pikir kini Dokter Anin melihat perlakuan mulia gadis di sampingnya. Dalam keadaan sulit sekalipun Latisha masih bisa memikirkan kebahagiaan orang lain diatas kebahagiaannya sendiri.

"Nak, penyakitmu semakin parah akhir-akhir ini. Jika kami melakukan operasi pendonoran, itu akan mengancam nyawamu sendiri," ucap Dokter Anin.

"Gak masalah, Dokter. Saya udah tau semua resiko yang akan terjadi kedepannya. Saya gak peduli dengan hal itu. Jadi yang penting sekarang adalah, apa saya benar-benar bisa donorin mata saya?" tanya Latisha.

"Kalau hanya untuk bagian mata, sebenernya kamu bisa. Penyakitmu belum sampai menyerang area matamu, dan masih bisa mendonorkan kornea matamu yang sehat ke orang lain. Tapi, lagi-lagi ditekankan, walau orang yang kamu beri donor tak akan mengalami masalah, namun nyawamu yang dapat terancam kapanpun!" tegas sang Dokter dengan jelas.

"Dokter, udah saya bilang bahwa semua resikonya akan saya tanggung sendiri. Lagipula kalau saya mati, gak masalah. Saya lebih bahagia kayak gitu, daripada harus tetap hidup di dunia yang kejam ini," jelas Latisha optimis.

"Nak, bisakah kamu bersikap egois sekali saja? Bisakah kamu jangan memikirkan orang lain?! Setidaknya, pikiran dirimu kali ini saja! Kamu juga berhak bahagia. Kamu berhak melakukan apapun yang kamu mau tanpa ada paksaan dari orang lain. Kamu juga berhak meraih cita-citamu setinggi mungkin. Kamu berhak untuk bebas, Nak!" seru Dokter Anin mencoba memberitahu bahwa Latisha berhak untuk hidup bahagia.

Latisha diam sejenak. Ia sedikit terkejut melihat Dokter Anin yang berbicara penuh penekanan. Hinga tak lama, sebuah senyum manis terukir indah di bibirnya. Ia menggeleng pelan.

"Ada yang lebih berhak bahagia daripada saya, Dokter," tukas Latisha.

"Siapa?" tanya Dokter Anin.

"Adik saya, Alisha," jawab Latisha. "Dia masih kecil, masa depannya masih sangatlah panjang. Oleh karena itu, dia lebih berhak bahagia dari saya. Dia berhak dapatin indra penglihatannya lagi," tambahnya.

Dokter Anin terdiam, tak dapat lagi membalas. Memang sangat sulit untuk meyakinkan seorang Latisha, bahwa dirinya sangatlah spesial dan istimewa.

Hela nafas panjang terdengar dari Dokter Anin. Nafas yang penuh keputus-asaan. Ia tak sanggup lagi dengan sifat keras kepala Latisha yang tak bisa dibantah. "Baiklah. Kamu bisa melakukan operasi pendonoran dua bulan lagi," paparnya.

"Benarkah?!" seru Latisha. Dokter Anin hanya mengangguk sebagai balasan.

Grep!

Dengan gerakan yang amat cepat, Latisha memeluk Dokter Anin yang berada tepat di sebelahnya. Gadis itu menangis haru di bahu sang Dokter.

"Makasih, Dok--Ah! Enggak! Makasih, Ibu ...."

.

Blam!

Pintu ruangan Dokter Anin ditutup rapat oleh Latisha. Ia baru saja selesai menemui sang dokter dan kini berniat hendak pulang ke rumah. Langkahnya terdengar di sepanjang koridor rumah sakit.

This Really Hurts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang