D u a P u l u h E n a m

3K 139 2
                                    

"Aku berharap semoga kamu sama Latisha bisa terus bersama, Gavian."
~Bella Anastasya~

~Happy Reading~

***

Dua minggu berlalu semenjak Latisha mengalami koma. Gadis itu sama sekali tak berniat membuka matanya barang sedetikpun, membuat semua orang hanya bisa pasrah pada takdir yang akan Tuhan berikan ke depannya.

Kini, seorang Gavian tengah melangkahkan kaki panjangnya di koridor, berencana hendak pergi ke taman sekolah. Semenjak Latisha koma dan tak bersekolah, laki-laki itu semakin sering menghabiskan waktunya di taman, sekedar untuk menangkan pikirkan dan jiwanya yang masih terus berharap untuk kesadaran Latisha.

Sesampainya di taman, ia mendekati satu pohon Cendana yang terlihat lebih besar dan tua dari pohon-pohon lainnya. Ia menduduki dirinya perlahan di bawah pohon itu.

"Gavian!"

Suara panggilan menggagalkan niatnya untuk menutup mata, ia mengalihkan atensinya, mendapati Bella yang saat ini tengah berlari mendekatinya.

"Why, Bella?" ucap Gavian memandang bingung gadis yang masih berstatus sebagai pacarnya itu.

Bella ikut menduduki dirinya di bawah pohon, mensejajarkan tingginya dengan Gavian.

"Tisha gimana? Ada kabar baik?" tanyanya.

Sekedar infromasi, Bella sudah tau jika Latisha dalam kondisi koma. Ia diberitahukan oleh wali kelas mereka yang mendapat kabar langsung dari kedua orang tua Latisha, tepat sehari setelah gadis itu dinyatakan koma.

"Gak ada perubahan. Latisha masih belum siuman," jawab Gavian singkat.

Bella menghela nafas panjang. "Latisha itu orang terbaik yang pernah aku temuin. Hatinya baik, perilakunya baik, semua dalam diri dia baik, bahkan aku rasa dia gak pernah ada rasa benci sama orang lain."

Gavian mengangguk sekali, mengiyakan apa yang Bella cetuskan.

"Vian, aku mau ngomong sesuatu." Bella kembali berbicara, namun kini ia merubah posisi duduknya, berhadapan dengan Gavian.

Kedua manik indah Bella menatap intens sepasang mata milik sang kekasih di depannya. "Tapi kamu janji jangan sedih, ya," tutur Bella menaruh tangannya di atas tangan Gavian yang saat ini tengah menapak di rumput hijau.

"Kenapa?" tanya Gavian mengerutkan dahinya kebingungan.

Bella semakin menggenggam erat tangan Gavian. Gadis itu menunduk, menelan saliva-nya dengan kasar.

"Bella, why? Lo mau ngomongin apa?" Gavian kembali mengulang pertanyaannya.

"Itu ... aku ..." Bella menggigit bibir bawahnya. Ia gugup. "Aku ... mau balik lagi ke Australia. Penyakit papaku kambuh, dan dia lagi dirawat di rumah sakit," jelas Bella pada akhirnya.

"Vian, maaf ya. Aku gak ada pilihan lain selain pulang. Kita jadi harus pisah lagi." Kedua mata Bella berkaca-kaca, menatap Gavian dengan penuh rasa bersalah. "Tapi gak papa! Kita masih bisa LDR-an, kan?" Raut wajah Bella seketika berubah, dari yang awalnya sedih kini kembali tersenyum manis.

Gavian terdiam, memandang Bella dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Vian, kita masih bisa LDR-an, kan?" ulang Bella kala tak kunjung mendapatkan jawaban dari Gavian.

"Kita selesai aja ya, Bel."

Deg!

Senyum yang semula menghias wajah cantik Bella tiba-tiba luntur seketika usai Gavian menjawab dirinya.

"Ma-maksud kamu?"

"Hubungan kita selesain aja, ya. Gua rasa perasaan gua ke lo gak kayak dulu lagi. Gua sadar kalau gua udah jatuh cinta sama yang lain. Gua minta maaf. Gua udah nyakitin perasaan lo sekali lagi."

Seketika genggaman erat yang tadi Bella lakukan di tangan Gavian, perlahan mengendur dan terlepas. Bella menunduk dalam, tak berani menatap Gavian lagi.

Keheningan menerpa keduanya setelah itu. Mereka tenggelam dalam pikiran dan benak masing-masing. Hingga tak lama Bella kembali melontarkan kalimatnya.

"Latisha, kan?" ucapnya masih dengan kepala yang menunduk.

"Ha?" Gavian menautkan alisnya, tak paham dengan apa yang Bella maksudkan.

"Orang yang kamu cinta sekarang itu Latisha, kan?" Bella menengadah, menatap wajah Gavian yang seketika berubah. Lelaki itu tampak diam, menandakan bahwa yang ia ucapkan adalah sebuah kebenaran.

"Udah aku duga." Bella terkekeh pelan. "Oh ayolah! Dari awal aku ngeliat kalian berdua, aku juga udah nebak kalau kamu suka Latisha. Cuman, yah ... kamu belum sadar aja waktu itu. Aku jadi merasa bersalah 'kan karena udah jadi orang ketiga di antara kalian." Bella tersenyum tulus, membuat Gavian tak percaya dengan apa yang dia lihat.

Bagaimana tidak. Bisa-bisanya seorang gadis yang baru saja diputuskan oleh pacarnya malah tersenyum dan bukannya menangis.

"Bella, lo gak papa?" Gavian memandang khawatir Bella yang masih tersenyum.

"Gak papa, kok." Geleng Bella. "Aku sayang kamu, karena itu aku bakal selalu dukung setiap keputusan dari kamu."

Gavian terdiam seribu bahasa. Tidak dirinya sangka jika Bella bisa mengerti perasannya. Gadis itu bukanlah gadis manja seperti yang ia kenal dulu. Gadis itu juga bukan lagi gadis cengeng dan egois. Bella berubah, berubah dengan pemikirannya yang semakin dewasa.

Sontak Gavian ikut tersenyum. Tangannya mengangkat, meraih tubuh Bella dan memeluknya dengar erat.

"Thanks, Bella. Lo udah bener-bener berubah semenjak terakhir kita ketemu," tukas Gavian, mengusap lembut rambut Bella.

"Ini juga karena Latisha. Dari dia aku belajar arti mencintai yang sesungguhnya," balas Bella dalam dekapan Gavian.

Gavian berseringai lebar. "Dia emang  beda dari yang lain," ungkap Gavian  memikirkan Latisha.

Bella mengangguk, menyetujui apa yang Gavian katakan. "By the way, kamu bisa ikut anter aku ke bandara gak, lusa pagi?" Bella melepaskan pelukan Gavian. Ia menengadah, memandang wajah lelaki itu.

"Bisa, kok. Lagipula lusa hari minggu dan kita libur. Gua juga gak ada kerjaan di rumah selain ke rumah sakit buat jengukin Latisha," tutur Gavian menerima ajakan Bella.

"Yes! Thank you, Sir!" seru Bella bersemangat.

Gavian tekekeh geli, ia mengacak rambut panjang Bella dengan gemas. "Udah yok, balik ke kelas," ajak Gavian.

"Kuy!" sahut Bella.

"Kuy? Wow! Udah ngerti arti 'Kuy' juga, nih?"

"Iyalah! Aku juga turunan orang Indonesia kali! Cuman tinggalnya aja di Australia." Bella berucap bangga.

"Iya-iya. Udah, ayok." Gavian menarik tangan kecil Bella, lalu melangkah pelan.

Bella mengekori Gavian dari belakang. Tanpa lelaki itu sadari, Bella kini tengah mandang punggung lebarnya seraya tersenyum manis. Aku berharap semoga kamu sama Latisha bisa terus bersama, Gavian, batinnya berbicara tulus dari hati yang paling dalam.


.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

~To Be Continued~

This Really Hurts

This Really Hurts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang