D u a P u l u h L i m a

3.1K 152 1
                                    

"Sekarang gua ngerti seberapa pentingnya lo dalam hidup Latisha, Gavian."
~Narendra Arya Putra~

~Happy Reading~

***

Gavian memasuki ruang ICU yang ditempati oleh Latisha. Ia baru saja tiba usai mendapat panggilan dari orang tua gadis itu agar bisa datang guna menjaga Latisha, dikarenakan mereka ingin pulang untuk mengambil beberapa keperluan yang akan digunakan nantinya.

"Tante," panggil Gavian kepada seorang wanita yang duduk di sebelah brankar Latisha. Dia Alexa, Mama Latisha.

Alexa sontak mengalihkan atensinya usai suara Gavian memasuki indra pendengarannya. "Gavian, kapan datang?" tanyanya.

"Barusan, Tante." Gavian menjawab.

Alexa mengangguk-anggukan kepalanya paham. "Kalau gitu Tante titip Latisha dulu, ya. Tante mau nyusul papanya Latisha yang udah pulang duluan buat ngambil barang yang diperluin." Alexa berdiri, mengambil tasnya di atas nakas sebelah brankar Latisha.

Gavian mengangguk, mengiyakan penjelasan Alexa.

"Oh, ya. Tadi Tante telpon temen kamu yang satu lagi, siapa namanya ... Narendra?" Alexa menghentikan tangannya yang baru saja hendak membuka pintu

Gavian kembali menoleh ke Alexa, lalu mengangguk sekali lagi.

"Nah, dia juga bakal dateng sebentar lagi," ungkap Alexa. "Udah ya, Tante pamit dulu!" Setelahnya ia pergi, meninggal Latisha bersama Gavian di dalam ruangan.

Setelah pintu tertutup rapat, Gabian melangkahkan kakinya pelan, mendekati Latisha yang terbaring pucat di atas brankar. Hatinya kembali dibuat menjerit kala melihat wajah Latisha yang tampak menderita itu. Begitu banyak beban yang gadis itu tanggung, membuat Gavian tertohok.

"Tisha, gua datang jengukin lo." Gavian berucap, mengusap puncak kepala Latisha dengan sayang. "Lo gak kangen kah sama gua?"

Hening. Tak ada yang membalas Gavian. Lelaki hanya bicara sendirian seraya menatap dalam gadis yang tertidur lelap dengan keadaan pucat.

"Lo liat? Kayaknya gua udah gila gara-gara ngomong sendirian kayak gini. Gak ada yang yang balas. Biasanya lo yang bakal balas apa aja yang gua omongin, tapi sekarang lo malah tidur dan gak tau kapan bangun." Senyum manis terpatri di bibir tipis lelaki itu.

"Bangun, Tisha. Gua mohon kabulin permohonan gua sekali ini aja. Gua mohon jangan menyerah. Jangan tinggalin semua orang. Semua orang di sini udah menyesal. Semuanya pengen lo cepet-cepet siuman biar bisa langsung ngucapin maaf yang sebesar-besarnya." Tangan Gavian mulai turun sampai ke tangan Latisha. Ia menggenggam erat tangan kecil itu, sesekali mengusapnya.

"Gua tau lo pasti denger apa yang gua omongin sekarang. Jadi gua mohon, cepetan bangun. Gua pengen liat mata indah lo lagi." Tanpa sadar, setetes air mata turun membasahi pipi Gavian. Lelaki itu menangis, memandang lemah seorang Latisha.

Tok, tok, tok ...

Bunyi ketukan pintu mengalihkan Gavian. Ia melepaskan genggam tangannya, lalu menatap ke arah pintu.

Narendra memasuki ruangan dengan seragam sekolah yang masih melekat di tubuhnya. Ia menghampiri Gavian dan Latisha. "Ada lo juga ternyata," tutur Rendra melirik Gavian sejenak.

"Hai, Tisha. Gua datang." Narendra mengusap surai indah Latisha dengan lembut.

"By the way, kenapa lo gak sekolah?" Narendra berbicara di sela-sela kegiatan yang masih mengusap rambut panjang milik Latisha.

This Really Hurts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang