23| 💍

2.7K 239 36
                                    

🌺Vote and comment will be greatly appreciated... 🌺

Mau ngingetin aja, karena beberapa perubahan, tokoh Echan yang ada di part setelah ini sebenarnya adalah Haevan. Masih tahap revisi untuk kepentingan cerita.







"Sekolah Letta ada di mana? Kalau aku ambil belokan depan pom, bisa nggak? Aku belum hafal sama daerah sini..."

Mark bertanya dari balik kemudi, masih fokus memindahkan kendaraannya pada jalur kanan.

Di sisi lain, Yena yang ditanya malah terperanjat melamun menatap pahatan wajah Mark.

Pria tengil itu masih saja sama. Ugal-ugalan dalam berkendara. Sekaligus mengingatkan Yena pada masa remaja mereka dulu, saat Mark hampir menabrak pembatas jalan karena menghindari seorang ibu-ibu yang menyebrang.

Bedanya, sekarang ia jauh lebih tampan dengan potongan rambut barunya.

What the heck?? Lo mikirin apa sih, Yen?!

"H-hah? Apa apa?"

"Kamu bilang sesuatu?" tanyanya tergagap.

Mark melirik heran, lantas terkekeh renyah. "Kenapa? Wajah aku makin ganteng? Sampai ngelamun gitu ngelihatnya...." candanya mengejek.

Seketika Yena membuang muka. Ia jadi kesal sendiri dibuatnya. Ingatkan dirinya jika Mark adalah laki-laki paling brengsek yang ia benci di dunia ini.

"Apaan sih. Buruan, tadi bilang apa?!" tukas Yena kesal.

"Hehe...sorry. Aku tadi tanya, sekolah Letta ada di mana? Kalau kita belok lewat gang depan, bisa nggak?"

"Lurus aja. Nanti ada perempatan belok kanan. Dekatnya toko parfum 'La Vie en Rose'."

"Kalau sama toko cokelat itu? Mananya?"

"Kejauhan.... Itu dekatnya Family Restaurant...nanti pasti aku kasih tahu, jalan aja..." ujar Yena.

Mark mengangguk paham sebelum kembali fokus pada lalu lintas.

Hening menerpa sebelum Mark kembali bersuara.

"Kata papanya, dia juga kursus les piano, ya?" tanya Mark basa-basi. Ia bingung harus mengobrol apa, pasalnya Yena seperti tidak bisa diajak bicara santai.

Atau mungkin dirinya saja yang terlalu SKSD(?)

Tau ah.

Ia hanya ingin berbicara dengan wanita itu dalam durasi yang sangat lama. Sungguh, Mark rindu kedekatan mereka dulu. Entah sejak kapan dinding canggung ini terbentuk.

"Iya...setiap Sabtu Minggu Letta ada les piano..."

"Beneran? Berarti punya bakat di bidang musik juga, dong?"

Yena melirik sebentar sebelum berdehem kecil, pandangannya masih menatap ke depan.

Jujur, ia tidak ingin terlalu terbuka kepada Mark. Setidaknya untuk saat ini.

Paper Rings| Mark Lee ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang