Sepanjang langkah, Sakti terus menggumalkan kekesalannya pada Dokter Rian. Namun, meskipun keberatan setengah mati, Sakti tetap melangkah menuju kelas Luna. Sesuai permintaan Dokter Rian, dia akan mengambil tas dan barang-barang gadis itu. Mengingat Sakti sama sekali tidak ada niatan untuk masuk kelas seni, Dokter Rian jadi lebih leluasa meminta pertolongan padanya.
“Permisi, Bu.” Sakti mengetuk pintu kelas XI IPA 1, membuat Bu Inas menghentikan sejenak penjelasannya. Saat itu juga, semua pasang mata murid tertuju ke ambang pintu, kepada Sakti. “Saya mau ambil tas Luna.”
Untuk beberapa saat, hanya kebisuan yang menyelimuti seisi kelas. Semua murid bertukar pandang, Bu Inas sama sekali tidak menarik matanya dari wajah Sakti. Dan bukannya merasa risi, Sakti justru tersenyum nakal pada guru kimia muda itu, membuat Bu Inas menyudahi kegiatannya.
Bu Inas berdeham. “Kenapa kamu yang ambil tas Luna?”
Nada bicara Bu Inas lebih terkesan menginterogasi dibandingkan bertanya. Maklum, Sakti memang tidak memiliki kesan yang baik di mata semua guru, jadi wajar jika beliau was-was. Terlebih, ini pertama kalinya Sakti mau repot-repot merawat orang lain. Biasanya, dia keluyuran tidak jelas dengan kamera analog kesayangannya.
“Saya juga enggak mau, sih, Bu. Tapi, disuruh sama Dokter Rian,” jawab Sakti sembari bersandar ke daun pintu. “Kalau Ibu enggak percaya, Ibu aja yang antar tasnya ke UKS. Atau siapa, kek, murid di sini.” Sakti terdiam, menunggu sahutan dari Bu Inas. Namun, dia tak kunjung mendapat jawaban. “Ya udah, Bu. Saya pergi aja, ya?”
“Eh, tunggu!” Teriakan Bu Inas langsung menahan Sakti untuk berbalik. “Saya percaya sama kamu. Kamu bisa antar tas Luna ke UKS.”
Sakti mengembuskan napasnya kasar. Padahal, dia juga tidak masalah jika tidak dipercaya Bu Inas. Itu lebih baik, daripada dia harus kembali ke UKS dan bertemu dengan gadis pembawa sial bernama Luna itu. Dan sekarang, dia harus berhadapan dengan teman sebangku Luna yang menatapnya dengan penuh ingin tahu.
“Luna enggak kenapa-napa, 'kan, Kak?” tanya gadis itu, setengah berbisik.
“Kalau lo peduli, harusnya lo jenguk dia ke UKS, bukan nanya gue,” ketus Sakti. Kemudian, dia beralih pada Bu Inas. “Ibu tambah cantik kalau pakai blazer merah gitu.”
Wajah Bu Inas langsung memanas. Apalagi, beberapa siswa sudah tertawa karena ucapan Sakti barusan. “Sakti! Awas kamu!”
Tanpa merasa berdosa, Sakti kembali menutup pintu kelas. Dia hanya tersenyum miring saat mendengar teriakan Bu Inas. Jika ditanya siapa guru favoritnya, Sakti tidak akan ragu untuk menjawab ; “Bu Inas!” beserta teriakan penuh semangat. Bukan semata-mata karena beliau masih muda dan cantik. Namun, di antara yang lain, Bu Inas adalah satu-satunya guru yang benar-benar peduli pada Sakti, bukan sekedar memberi ancaman saat Sakti berbuat salah.
Begitu sampai di UKS, Sakti segera menyimpan tas Luna di atas meja Dokter Rian. Bahkan, terkesan dibanting. “Dok, tuh tasnya. Saya mau pergi.”
“Sakti, tunggu.” Lagi, interupsi Dokter Rian. “Orang tua Luna mau ketemu kamu. Sebentar saja, mereka hanya ingin berterima kasih.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine [Tamat]
Ficção AdolescenteKalian pasti sudah tidak asing lagi dengan peribahasa 'Don't judge a book by its cover', bukan? Bisa saja, orang yang terlihat memiliki kehidupan sempurna ternyata mempertanyakan keadilan Tuhan. Bisa saja, orang yang berandalan yang tidak tahu atura...