Dengan langkah tergesa-gesa, Sakti berjalan menuju dapur. Jaket bomber hijau menggantung di lengan kanannya. Dasi yang awalnya rapi, kini tidak menentu bentuknya. Rambut Sakti juga tampak berantakan, wajahnya lebih kusut dari tadi pagi. Dan sekarang, dia sudah menenggak setengah botol air dingin. Jelas sekali laki-laki itu sangat kehausan.
"Masak apa, Bi?"
"Astaghfirullah!" Bi Minem terperanjat di tempatnya berdiri. Dia berbalik, mendapati Sakti tengah berdiri bersandar ke lemari es. Wanita baya itu mengusap dadanya, meminta sang jantung untuk lebih tenang. "Ya ampun, Den, bikin kaget aja." Bi Minem geleng-geleng kepala. "Bibi lagi goreng ayam."
Sakti hanya menganggukkan kepala sebagai respons. Kemudian, ia kembali menenggak air mineral yang ada di tangannya.
Pemandangan itu lantas membuat Bi Minem bertanya-tanya. Biasanya, pemuda itu pulang dengan wajah ceria, justru Pak Hilman yang tampak suntuk. Sekarang, berbanding terbalik. "Kenapa, Den? Kok, mukanya ditekuk gitu?" Bi Minem mengangkat ayam gorengnya. Sekarang, beliau sudah sibuk dengan bahan-bahan sambal. "Dari pagi Bibi perhatikan, Den Sakti kayak lagi kepikiran sesuatu. Putus sama pacarnya, ya?"
Pacar lagi! Sakti memutar bola matanya malas. Dia menyimpan botol minuman itu di atas lemari es. "Emangnya kalau muka kusut itu harus karena pacar, ya? Bisa aja karena mikirin pelajaran, 'kan?"
Tawa Bi Minem meledak seketika, beliau juga sudah menatap Sakti penuh jenaka. "Wajah Den Sakti bisa kusut gara-gara pelajaran? Enggak mungkin, ah!"
Wajar kusut Sakti semakin tidak berbentuk setelah mendengar ejekan Bi Minem barusan. Dengan perasaan dongkol yang kian menumpuk, Sakti memilih untuk meninggalkan dapur. Dia perlu membersihkan diri sebelum bertemu dengan ayahnya di meja makan. Dan saat Sakti membuka pintu kamar, dia mendapati adiknya sedang duduk di depan printer. Sakti memutar bola matanya.
"Print apa lagi?" tanya Sakti sembari melempar jaket dan tasnya ke atas kasur. Dia melepas dasi dan sabuknya secara paksa. Matanya terus memperhatikan layar laptop yang ada di atas meja sana. "Minta sama ayah, dong. Gue beli doff itu sendiri!"
Bunga mendelik. "Pelit banget, sih, Kak? Gue cuma minta 2 lembar," ketus Bunga. Ya, dia memang sengaja datang ke kamar Sakti untuk mencetak beberapa foto yang mengabadikan keseruan Bunga dengan teman-teman sekelasnya. "Uangnya nanti gue ganti, kok."
"Bukan masalah uangnya. Gue butuh juga. Kalau kehabisan, lo mau tanggung jawab?"
Bukannya merasa tidak enak hati, Bunga justru mencebikkan bibirnya. Beginilah mereka, meski terpaut usia 2 tahun, Bunga tidak sungkan untuk bertindak semaunya pada sang kakak. Banyak hal yang bisa menjadi bahan perdebatan keduanya. Mulai dari goreng tempe, earphone Sakti yang dipinjam Bunga, sampai perkara ke mana mereka akan berlibur jika Pak Hilman memiliki waktu luang. Dan yang paling sering adalah masalah kertas foto ini.
"Kok, ada foto Kak Luna di laptop lo?" Bunga berbalik, menatap kakaknya yang tidak jadi masuk ke kamar mandi karena pertanyaan barusan. "Lo ... pengagum rahasia Kak Luna, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine [Tamat]
Genç KurguKalian pasti sudah tidak asing lagi dengan peribahasa 'Don't judge a book by its cover', bukan? Bisa saja, orang yang terlihat memiliki kehidupan sempurna ternyata mempertanyakan keadilan Tuhan. Bisa saja, orang yang berandalan yang tidak tahu atura...