Sekali lagi, Sakti melirik jam tangannya. Pukul 08.40, 20 menit lebih cepat dari jam yang ditentukan untuk bertemu Luna. Jangan tanya alasan Sakti bisa begitu bersemangat untuk bertemu dengan Luna. Karena dia sendiri juga tidak tahu. Hanya saja, ayah Sakti selalu menegaskan bahwa laki-laki sejati tidak akan membiarkan perempuan menunggu. Dan hanya itu yang sedang Sakti lakukan, tidak membuat Luna menunggu.
Perhatian Sakti teralihkan pada seseorang yang tiba-tiba saja duduk di sampingnya. Gadis itu menggunakan celana hitam panjang, atasan maroon, cardigan putih menutupi tangan mulusnya. Rambut panjang Luna tergerai dengan indah, hanya dihiasi jepit rambut pink kecil. Dan uniknya, gadis itu membawa botol minum dari rumah.
"Udah lama?" tanya Luna, mengakhiri lamunan Sakti yang terus memperhatikan penampilannya.
"Belum," bohong Sakti. Padahal, dia sudah menunggu setengah jam di sana. "Gimana keadaan lo? Yakin udah enggak kenapa-napa. Padahal, gue bisa aja datang ke rumah lo kalau masih lemes."
Luna menggelengkan kepalanya. "Kalau cuma di rumah, enggak ada hal menarik buat difoto. Lagian, aku udah enggak apa-apa, kok." Lalu, Luna menatap 2 helm yang ada di pangkuan Sakti. "Jadi, kita mau ke mana?"
"Lo kuat kalau kita ke Tangerang?" Sakti balik bertanya. Luna mengangguk antusias, tanpa berpikir sedikit pun. "Okay, I'm your solder today, My Queen."
Sontak saja Luna tertawa dia menerima helm putih yang diberikan Sakti. Selanjutnya, mereka berjalan meninggalkan bangku hitam di bawah pohon flamboyan yang selalu menjadi tempat mereka bertemu. Sesekali, Sakti melemparkan candaan yang membuat Luna tertawa.
Menjadi juara umum 4 semester berturut-turut jelas membuat Luna banyak dikenal. Karena itu pula, Luna memiliki banyak teman. Entah hanya untuk memanfaatkan atau memang tulus, Luna tidak mau peduli. Selama mereka baik di depannya, Luna tidak akan berpikir yang tidak-tidak. Namun, di antara banyaknya taman Luna itu, dia tidak menemukan seseorang yang bisa disebut sahabat. Luna tidak punya siapa-siapa untuk menjadi tempat berbagi.
Namun, tiba-tiba Tuhan mengirim Sakti ke kehidupan Luna. Berawal dari kejadian tidak disengaja di kantin, siapa yang akan menyangka jika Sakti mau menghabiskan akhir minggunya dengan Luna dibandingkan ikut ayahnya ke Puncak. Dan setelah 1 jam perjalanan, akhirnya mereka berdua sampai di Tanah Tingal. Sakti banyak berhenti, untuk memastikan Luna baik-baik saja.
"Pernah ke sini sebelumnya?" tanya Sakti sembari melepaskan helmnya. Luna menggelengkan kepala, dia akan wisata alam hari ini. "Sama, gue juga belum. So, we will make a first experience together."
Tanpa permisi, Sakti menggenggam tangan Luna, mengajak perempuan itu untuk berjalan bersama. Mereka melewati pohon demi pohon, wahana demi wahana. Hingga akhirnya, mereka sedang ada di tengah-tengah danau. Berdua, di atas perahu kayak. Sakti yang mendayung, sementara Luna belajar memotret keindahan di sekitar mereka.
"Luna," panggil laki-laki itu, membuat Luna mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Tell me anything about you."
Seketika, kening Luna berkerut. "About me?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine [Tamat]
Fiksi RemajaKalian pasti sudah tidak asing lagi dengan peribahasa 'Don't judge a book by its cover', bukan? Bisa saja, orang yang terlihat memiliki kehidupan sempurna ternyata mempertanyakan keadilan Tuhan. Bisa saja, orang yang berandalan yang tidak tahu atura...