Sekarang, Sakti sedang duduk di meja makan keluarga Luna. Gadis itu sibuk di dapur, menyiapkan nasi goreng. Di saat pembicaraan di antara mereka sedang serius-seriusnya, malah terdengar suara keroncong dari perut Sakti. Makan siang tadi Sakti hanya makan 3 sendok bakso Mang Uus. Jadi, wajar saja jika lambungnya berteriak lancang di momen serius seperti tadi.
Memanfaatkan waktu yang ada, Sakti segera membuka ponselnya. Mengetik 'Sindrom Werner' di mesin pencarian. Matanya bergerak membaca kata demi kata yang ada di layar ponsel.
Sindrom Werner merupakan gangguan kesehatan fisik yang ditandai dengan proses penuaan yang lebih cepat dari batas normal, sindrom ini disebabkan kelainan genetik. Penderita juga berisiko mengidap penyakit serius lain, seperti osteoporosis, katarak, diabetes, bahkan kanker.
Tidak sanggup lagi, Sakti lebih memilih untuk menyimpanponselnya ke atas meja, membanting punggungnya ke sandaran kursi, lalu mengusap wajahnya sedikit kasar. Keadaan Luna bisa memburuk kapan saja, penyakit yang lain bisa saja datang seiring berjalannya waktu. Kondisi gadis itu jauh lebih parah dari perkiraan Sakti selama ini.
“Nih, makan dulu.”
Begitu terdengar suara Luna, Sakti kembali menegakkan duduknya, tersenyum untuk menyembunyikan rasa khawatirnya.
“Jangan sampai lambung Kak Sakti jadi perih.”
“Ini pertama kalinya kamu masak buat aku. Kita lihat, kamu ada bakat di dapur atau enggak.” Sakti tersenyum menggoda. Dia terkekeh saat Luna mengangkat satunya dengan penuh percaya diri. “Biasa aja,” gumam Sakti sambil mengunyah suapan nasi goreng pertama.
Sontak saja Luna langsung melotot. “Enak aja! Itu enak kali, Kak! Aku bikinnya pakai resep rahasia mama juga. Mana mungkin rasa cuma 'biasa aja'.”
“Iya, iya. Enak, kok. Apalagi kalau orang yang aku sayang yang masaknya.” Sakti mengusap rambut Luna, kemudian melanjutkan makannya.
Diam-diam, Luna memperhatikan lelaki itu. Jika saat ini mereka ada di hadapan umum, orang-orang akan mengira perempuan yang menjadi selera Sakti dalah perempuan yang lebih tua darinya. Lelaki itu masih menggunakan seragam, sementara Luna terlihat seperti perempuan berusia 25 tahun dengan penampilannya saat ini.
“Boleh aku lihat obat-obatan yang perlu kamu minum? Aku enggak mau kejadian kemarin terulang lagi. Aku juga harus tahu obat yang mana yang bisa menolong di situasi tertentu,” ucap Sakti dengan penuh hati-hati. Dia takut perkataannya membuat Luna tersinggung. “Aku enggak mau kayak kemarin lagi, enggak bisa melakukan apa pun di saat kamu butuh pertolongan. Ingat, sekarang kita pacaran.”
“Itu keputusan sepihak Kak Sakti,” sahut Luna dengan cepat.
“Kan, aku cowok, aku harus bisa mengambil keputusan, dong. Lagian, kamu juga mau jadi pacar aku, 'kan? Cuma gitu, banyak gengsinya.” Sakti mengangkat bahunya acuh. Lalu, dia tertawa melihat wajah kesal Luna. Tidak peduli fisiknya sudah berubah banyak dalam waktu yang sangat singkat, Luna akan terlihat cantik di matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine [Tamat]
Teen FictionKalian pasti sudah tidak asing lagi dengan peribahasa 'Don't judge a book by its cover', bukan? Bisa saja, orang yang terlihat memiliki kehidupan sempurna ternyata mempertanyakan keadilan Tuhan. Bisa saja, orang yang berandalan yang tidak tahu atura...