Begitu Luna turun dari mobil, dia langsung disambut dengan pelukan hangat sang papa. Beliau memang tersenyum lebar, tetapi jelas ada kekhawatiran yang tidak kentara di wajah yang sudah tidak lagi muda itu. Dan pelukan hangat yang saat ini merengkuh Luna, ada banyak sekali takut kehilangan di dalamnya. Luna tahu, meski sang papa tidak mengatakan sepatah kata pun tentang ketakutannya.
"Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanya Pak Yusuf sembari mengusap puncak kepala putri semata wayangnya dengan penuh sayang. "Gimana lutut sama tangan kamu? Apa perlu kita ke rumah sakit sekarang?"
Tangan mungil Luna menarik pergelangan papanya. Dia menyelipkan jemarinya di sela-sela jemari sang papa. "Pa, aku enggak apa-apa. Aku udah baik-baik aja, kok. Papa enggak perlu khawatir berlebihan kayak gitu."
Pak Yusuf kembali memaksakan senyumnya. "Iya, papa percaya kamu baik-baik saja. Tapi, begitu ada sakit yang terasa, langsung kasih tahu Papa sama Mama, ya, Sayang?"
Luna hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
"Ya sudah, kita masuk dulu. Ada tamu juga di dalam. Ayo, Ma." Pak Yusuf menggandeng anak dan istrinya menuju istana mereka.
Keluarga Luna sama dengan keluarga yang lainnya. Keluarga yang saling menyayangi satu sama lain, saling mengkhawatirkan saat ada yang sakit, juga saling mendoakan yang terbaik. Mereka adalah keluarga yang diselimuti banyak kebahagiaan.
Setiap akhir minggu, papanya selalu memboyong keluarga kecil mereka untuk liburan singkat. Entah ke Taman Bermain Ancol, menyatu dengan alam di Puncak, atau sekadar mendirikan tenda kecil di halaman samping rumah. Mama Luna juga adalah mama terbaik di dunia. Beliau sangat memukau saat di dapur, tempat bercerita yang sempurna untuk Luna, juga teman berbelanja yang sangat mengasyikan.
Namun, sejak sebulan yang lalu. Tiada hari yang mereka lalui dengan tenang. Selalu ada khawatir yang menyiksa batin keduanya, terhadap Luna.
"Luna, ini Bu Rina." Pak Yusuf memperkenalkan Luna kepada tamu yang sedari tadi sudah duduk di sofa. Perempuan itu berdiri, tersenyum pada Luna. "Bu, ini anak saya."
Meskipun bingung, Luna tetap berkenalan dengan perempuan itu. Luna yakin, usianya belum menginjak angka 30. Kemeja putih dan rok navy di bawah lutut, rambut diikat rapi, serta kacamata yang bertengger di hidungnya membuat kesan formal begitu kuat.
"Teman Mama, ya?" tanya Luna pada sang mama.
Bu Zihan tersenyum. Tangannya bergerak mengusap punggung Luna. "Bukan, Nak. Ini guru baru kamu. Mulai minggu depan kamu belajar di rumah."
Untuk beberapa saat, pikiran Luna kosong. Kedua orang tuanya memang pernah membicarakan tentang homeschooling beberapa hari yang lalu, tetapi Luna tidak menyangka akan secepat ini mereka mendapatkan pengajar untuknya. Dan itu berarti, Luna akan meninggalkan sekolahnya. Dia tidak akan lagi merasakan serunya bermain tebak unsur kimia, tidak akan merasakan menantangnya memberi contekan kepada teman yang lain, juga tidak akan bernyanyi bersama teman-temannya saat jam kosong.
"Secepat ini, Ma, Pa?" Luna menatap kedua orang tuanya secara bergantian. "Tapi, Luna masih mau sekolah, di Widyadharma."
Senyum Bu Zihan perlahan luntur. Beliau tahu, putrinya memang akan kecewa. "Sayang, dengarkan Mama, ya." Bu Zihan menarik tangan putrinya untuk duduk, Pak Yusuf dan Bu Rina juga segera mendaratkan bokongnya di sofa. "Mama sama Papa minta maaf kalau ini membuat kamu kecewa. Tapi, ini yang terbaik, Sayang. Mama sama Papa enggak tenang kalau kamu jauh dari kami. Mama juga enggak mau kejadian seperti tadi kembali terulang."
"Tadi aku cuma lupa minum obat, kok, Ma. Buat ke depannya, aku enggak akan lupa lagi." Luna masih berusaha mendapatkan kepercayaan mamanya. Namun, sayang, sang papa juga angkat suara.
"Luna," panggil Pak Yusuf, membuat putrinya menoleh. "Kita tidak tahu kapan tubuh kamu melemah. Kegiatan sekolah formal juga sangat padat, bisa membuat kamu terlalu capek. Ekskul, tugas-tugas, padatnya jadwal, Papa takut itu akan membuat tubuh drop di waktu tidak terduga. Bagaimana kalau Mama tidak bisa dihubungi, Papa sedang di luar kota? Siapa yang mau rawat kamu?" Pak Yusuf mengusap kepala putrinya itu. "Kalau di rumah, Mama bisa memantau 24 jam, Papa juga tenang."
Luna terdiam. Iya, beginilah kondisi keluarganya sekarang. Selalu diselimuti was-was, rasa takut, dan khawatir. Mungkin saja, seharusnya Pak Yusuf stand by di restoran karena ada tamu penting. Mungkin saja, tadi Bu Zihan sedang membuat kue. Namun, pekerjaan keduanya harus berantakan karena Luna.
Tidak pernah sekali pun Luna merasa terbebani dengan kegiatan sekolah, sepadat apa pun itu. 3 tugas dalam sehari, kegiatan ekskul matematika, atau kerja kelompok sampai menjelang malam. Luna menikmati itu semua. Belajar adalah tujuan hidup Luna. Namun, jika Luna mengikuti egonya, pekerjaan mama dan papanya yang akan terbengkalai. Mereka akan terus diselimuti rasa khawatir yang berlebihan.
"Ya udah, Luna homeschooling aja," pasrah Luna pada akhirnya. Dia memaksakan diri untuk tersenyum, meyakinkan kedua orangnya bahwa dia baik-baik saja dengan keputusan ini. "Kalau begitu, Luna masuk ke kamar dulu, Ma, Pa." Mata Luna beralih pada Bu Rina. "Senang bisa bertemu Ibu hari ini."
"Saya juga, Luna," jawab Bu Rina lugas. "Ya sudah, barang kali kamu mau istirahat. Kita bicarakan tentang jadwal besok saja."
Mendengar itu, Luna segera bangkit dari duduknya. Dia memegang erat tali tas ransel yang ada di bahunya. Melewati ruang tamu, ruang keluarga, kemudian masuk ke kamarnya. Tak lupa mengunci pintu, Luna membaringkan diri di atas kasur, matanya menatap langit-langit kamarnya.
Kenapa harus seperti ini? Tidak terhitung berapa kali Luna menanyakan hal itu. Pada angin, pada langit malam, juga pada Tuhan yang sudah pasti mendengarnya. Kenapa Tuhan membalikkan takdirnya begitu saja? Apa Tuhan tidak sayang lagi sama aku?
Setiap hari Luna selalu berharap apa yang dia alami hanyalah mimpi. Dia selalu berharap bahwa kehidupannya baik-baik saja. Tidak perlu meminum obat, tidak perlu membuat orang tuanya khawatir, tidak perlu pindah kamar ke lantai dasar karena lututnya sering sakit, dan tidak perlu belajar di rumah juga. Namun, kenyataan tetap kenyataan. Kenyataan tetap mengatakan bahwa hidupnya sudah berubah.
*
*
*
Selamat malam, Legiuns.Mau kasih tau aja, cerita yang ini emang jumlah kata per part nya lebih dikit. Tapi jumlah part nya banyak. Sehari bisa update sekali, bisa juga dua kali. Tapi, insya Allah pas lebaran udah tamat. Mohon doanya aja, yaaa ....
Kadang, emang apa yang kita harapkan terjadi, justru malah susah banget buat didapatkan. Gak peduli sekeras apa kita berusaha, belum tentu hasilnya seperyi apa yang kita harapkan. Tapi, mau gimana lagi, hidup ini emang bukan punya kita. :))
Bini Ceye,
20.33, 14 April 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine [Tamat]
JugendliteraturKalian pasti sudah tidak asing lagi dengan peribahasa 'Don't judge a book by its cover', bukan? Bisa saja, orang yang terlihat memiliki kehidupan sempurna ternyata mempertanyakan keadilan Tuhan. Bisa saja, orang yang berandalan yang tidak tahu atura...