Amaranthine 25

716 130 10
                                    

Begitu sampai di depan rumah, Luna dan Sakti segera turun dari mobil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Begitu sampai di depan rumah, Luna dan Sakti segera turun dari mobil. Keduanya berjalan beriringan. Dan ketika sampai di ruang tamu, mereka disambut oleh wajah tegas Pak Yusuf. Papa Luna itu memperhatikan penampilan keduanya. Baju formal, kacamata bingkai tebal, rambut Luna disanggul, kumis tebal di atas bibir Sakti.

“Sore, Om,” sapa Sakti. Dia bergerak menyalami papa Luna. “Tadi, saya sama Luna pergi jalan-jalan. Udah izin sama tante, kok. Saya juga bawa mobil, jadi Luna enggak kepanasan sama enggak kedinginan. Kita juga makan dulu di—”

“Iya, saya tahu,” potong Pak Yusuf. Pemuda di hadapannya memang selalu bertanggung jawab atas Luna, jauh sebelum hari ini. Namun, semakin ke sini, Sakti semakin menunjukkan keseriusannya untuk bersama Luna. “Tapi, kenapa kalian dandan seperti ini?

Luna maju, menggandeng tangan papanya supaya tidak terlalu galak pada Sakti. “Papa tahu kalau aku mau jadi guru, 'kan?” Meski bingung, papanya itu tetap menganggukkan kepala. “Hari ini, Kak Sakti udah bantu buat mewujudkan cita-cita aku itu. Aku jadi guru banyak anak-anak siang tadi.”

Lantas, Pak Yusuf langsung melirik Sakti. Tentu, beliau tidak akan lupa cita-cita Luna itu. Sedari kecil anak gadisnya selalu menjawab bahwa menjadi guru adalah mimpi terbesarnya, karena itu Luna senang belajar. Namun, semenjak didiagnosa oleh dokter, Luna jadi tidak memiliki semangat untuk mengajar cita-citanya.

“Kita belajar matematika, terus main games, nyanyi-nyanyi juga. Anak-anaknya pintar banget, Pa. Mereka cepat tanggap, padahal aku enggak terlalu pintar menjelaskan, tapi mereka paham.” Luna terus berceloteh dengan penuh semangat. Kemudian, gadis itu menoleh ke arah Sakti yang terus memperhatikannya sambil tersenyum. “Nanti, kita ke sana lagi, ya, Kak?”

Sakti langsung menganggukkan kepala. “Iya, nanti kita ke sana lagi. Sekarang kamu bersih-bersih dulu sana. Anak gadis jangan mandi sore-sore banget.”

“Makasih banyak untuk hari ini, Kak. Aku mandi dulu,” pamit Luna sembari berlalu menuju kamarnya.

Begitu tubuh kecil Luna menghilang di balik daun pintu. Pak Yusuf mendaratkan bokongnya di atas sofa. Beliau juga mempersilakan Sakti untuk ikut duduk. “Terima kasih sudah membuat anak saya begitu bahagia. Tidak bisa dipungkiri semenjak mengenal kamu, Luna jadi banyak tersenyum seperti barusan.”

“Bukan apa-apa, kok, Om. Lagipula, sangat mudah membahagiakan Luna. Dia bisa tersenyum hanya dengan hal-hal sederhana.” Karena itulah Sakti bahagia hanya dengan bersama Luna. Cukup hanya duduk berdua, Sakti merasa semua yang dia butuhkan berada tepat di sampingnya. “Saya juga berterima kasih sama Om karena sudah mengizinkan saya untuk terus menemani Luna.”

“Saya harap, kamu bersedia menemani anak saya di saat paling sulit sekali pun. Waktu akan terasa begitu berat saat melihat orang yang kita sayang kesakitan. Dan semoga, kamu kuat jika nanti ada apa-apa dengan Luna.”

Seketika, Sakti terdiam. Benar, waktu akan terasa begitu berat saat melihat orang yang kita sayang tersakiti. Semakin menyiksa saat kita tak bisa melakukan apa-apa untuk mengurangi rasa sakit itu. Namun, Sakti udah memutuskan untuk memegang teguh pilihannya.

Amaranthine [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang