Amaranthine 29

589 103 4
                                    

Rio mengikuti langkah Sakti dan Luna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rio mengikuti langkah Sakti dan Luna. Di hadapannya, mereka berdua paling bercanda dengan tangan yang berpegangan. Antara patah hati atau ikut bahagia, Rio tidak tahu mana yang lebih mendominasi hatinya. Yang jelas, untuk saat ini, dia hanya ingin bertemu dengan Luna. Dia ingin menanyakan kabar gadis itu meskipun hanya sebentar. Namun, baru saja Rio mempercepat langkahnya, seorang anggota OSIS malah menghalangi jalan.

"Kak, untuk rapat kita mau adakan di mana, ya? Kalau di ruang OSIS, pasti tidak akan cukup menampung semua anggota."

Tinggal sedikit lagi, tetapi Rio harus kembali merelakan kepergian Luna. Dia berusaha memusatkan perhatian pada anak buahnya. "Mungkin, di aula lebih baik," jawab Rio. Sesekali, dia melirik gerbang sekolah, di mana Sakti dan Luna menghilang dari pandangannya. "Untuk konsumsi, pastikan tidak ada anggota yang tidak kebagian nasi kotak. Minum juga sepertinya kurang, beli 2 dus lagi. Pasti sangat melelahkan bekerja seharian."

Sementara di kedai seberang sekolah, Luna segera memasukkan masker dan topinya ke dalam tas. "Aku langsung ganti baju aja, deh, Kak. Enggak enak kalau ketahuan aku baru aja dari sekolah." Kemudian, gadis itu celingak-celinguk. Hanya ada mereka berdua yang menjadi pengunjung di sana. Artinya, Luna aman. "Aku ke toilet dulu."

"Hati-hati." Sakti setengah berteriak memperingatkan Luna. Gadis itu hanya mengangkat tangannya sembari terus melangkah ke belakang kafe, membuat Sakti geleng-geleng kepala.

Layar ponsel Sakti menunjukkan pukul 2 siang. Mereka memang sepakat pulang sebelum acara selesai karena tidak mau yang mengetahui kehadiran Luna di tengah-tengah kemeriahan porak. Selain menonton Miqdad bermain futsal, mereka juga menonton pertandingan tarik tambang. Luna hampir saja meneriakkan nama Sakti saat ia bertanding. Setelah itu, mereka menghabiskan waktu berdua di taman belakang sekolah.

Lonceng berdenting, menandakan ada yang baru saja memasuki kedai. Secara refleks, Sakti mengalihkan pandangannya dari ponsel, melirik seseorang yang berdiri di ambang pintu. Dan sialnya, itu adalah Rio. Sakti semakin merasa sial saat laki-laki itu berjalan mendekati mejanya.

"Gue kira, lo udah pulang," ucap Rio sembari menarik kursi. Tanpa permisi, dia duduk di seberang Sakti. "Gue minta maaf kalau kelakuan gue satu ini lancang. Tapi, gue minta sama lo, izinkan gue ketemu Luna."

Sakti mematikan layar ponselnya. Dia menyimpan benda pipih itu ke atas meja, lalu menegakkan duduknya. "Lo mau apa kalau ketemu dia?"

"Gue cuma mau nanya kabar dia secara langsung. Gue cuma mau memastikan kalau dia baik-baik aja." Kemudian, Rio terdiam. Dia hampir lupa bahwa Luna memutuskan untuk keluar dari sekolah karena kondisinya yang tidak baik-baik saja. "Setidaknya, dia terlihat baik-baik aja."

"Enggak ada. Luna udah pulang," bohong Sakti. Bukan apa-apa, dia juga kurang yakin Luna mau bertemu dengan Rio saat ini. "Lain kali aja lo ketemu dia. Sekarang, mending lo urus anak buah lo."

Mata Rio memicing, jelas dia tidak percaya dengan ucapan Sakti. "Kalau Luna udah pergi, kenapa lo masih di sini?"

"Ada urusan aja." Sakti mengangkat bahunya acuh. "Udah, lo balik ke sekolah lagi aja. Anak buah lo banyak, jangan sampai terjadi sesuatu yang enggak diinginkan kalau lo tinggal cuma buat minta ketemu sama pacar orang lain."

Amaranthine [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang