Kalian pasti sudah tidak asing lagi dengan peribahasa 'Don't judge a book by its cover', bukan? Bisa saja, orang yang terlihat memiliki kehidupan sempurna ternyata mempertanyakan keadilan Tuhan. Bisa saja, orang yang berandalan yang tidak tahu atura...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
“Aku ke kamar mandi dulu, Kak,” pamit Luna. Ia menyimpan sling bag hitamnya ke atas meja.
Baru saja beberapa langkah yang ia ambil, Sakti sudah menahan tangannya. Luna mengembuskan napas panjang.
“Gak perlu, aku bisa sendiri.” Luna tersenyum ambil melepaskan pegangan tangan Sakti di pergelangannya.
Malam ini, untuk pertama kalinya, mereka tidak berkencan sekedar duduk di gazebo halaman samping rumah Luna atau pergi ke tempat-tempat unik. Seperti pasangan milenial pada umumnya, Sakti membawa Luna ke pusat perbelanjaan daerah Kemang. Mereka baru selesai menonton film fantasi Hollywood dan memutuskan makan malam sebelum pulang.
Begitu selesai dengan urusannya di salah satu bilik toilet, Luna berjalan menuju wastafel dan mencuci tangan. Dia juga merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Peregerakannya langsung terhenti saat melihat sesuatu di kepalanya. Luna mendesah, mencoba untuk ikhlas dengan apa yang terjadi pada rambutnya. Setelah selesai, dia kembali menuju food court dan duduk di samping Sakti.
Gadis itu masih tidak menjawab, malah menatap kosong mangkuk di hadapannya.
“Lun, kenapa?” Kali ini, Sakti udah menggenggam erat tangan Luna. “Cerita sama aku, dong.”
Luna memposisikan tubuhnya untuk membelakangi Sakti. Dia menunjukkan beberapa helai rambutnya. “Uban aku makin banyak, Kak,” jawab Luna dengan lesu.
Dengan penuh hati-hati, Sakti memegang beberapa helai rambut Luna yang memutih, seakan rambut itu dalah benda yang sangat rapuh. Menyembunyikan keterkejutannya, Sakti mengusap rambut Luna. “Rambut kamu cantik kalau ada warna putihnya gitu.”
Tubuh Luna langsung berbalik alam sekali hentakan. Dia menyingkirkan tangan Sakti yang masih memainkan rambut panjangnya. “Terus aja bilang aku cantik! Aku juga tahu, Kak Sakti bohong!” Luna mulai makan pesanannya. Pipinya mengembang karena marah. “Berhenti lihat aku kayak gitu! Kak Sakti juga harus cepat makan! Aku mau pulang!”
Bukannya kesal, Sakti justru menganggap kelakuan Luna ini lucu. “Aku serius, Luna Sayang. Kamu itu cantik. Banget!”
Saat itu juga, Luna langsung tersedak buah kiwi yang sedang ia kunyah. Tangannya bergerak cepat meraih gelas air mineral dan menenggaknya terburu-buru. Begitu batuknya reda, Luna langsung memukul Sakti. “Ih! Ngapain Kak Sakti panggil aku kayak gitu?!”
“Lho? Emang gak boleh? Kan, kamu pacar aku. Enggak apa-apa, lah.” Tidak ingin menyiksa Luna, Sakti juga memesan menu yang sama, salad buah dan air mineral. “Kita jangan kalah sama anak SD zaman sekarang, Lun. Mereka aja panggil ayah-bunda, papi-mami, abi-umi, lho. Aku? Panggil kamu sayang aja malah dipukul.”