“Saya turut berduka cita atas kepergian ibu kamu,” ucap Pak Yusuf saat Luna sudah tidak lagi terlihat. Lalu, beliau mendaratkan bokongnya di papan gazebo, menatap warna-warni bunga yang menjadi hiasan baru di halaman samping rumahnya. “Saya sudah dengar semuanya.”
Kebingungan Sakti berhenti. Ternyata, itu maksud Pak Yusuf. “Terima kasih, Om,” jawabnya sembari mendaratkan bokongnya.
Pak Yusuf menarik napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan oksigen. Lalu, mengeluarkan napas sekaligus. Bukannya terasa lega, rasanya justru semakin sesak. “Luna adalah hadiah paling indah dalam hidup saya,” cetusnya tiba-tiba, memulai pembicaraan yang akan banyak menguras perasaan di antara mereka. “Saya masih ingat bagaimana indahnya tatapan pertamanya di hari dia datang ke rumah ini, bagaimana dia tersenyum padahal belum mengerti dengan candaan yang saya lontarkan saat dia berumur 5 bulan, dan bagaimana dia memanggil saya papa untuk pertama kalinya.”
Ya, rasanya baru kemarin Luna kecil belajar berjalan, menangis saat jatuh dari sepeda, dan tertawa ruang hanya dengan bermain dengan kupu-kupu. Rasanya, baru kemarin Luna menanyakan banyak hal pada kedua orang tuanya untuk menambah pengetahuan di kepalanya.
“Tapi, ternyata, anak saya sudah tumbuh menjadi remaja yang cantik. Anak yang selalu berhasil membuat orang tuanya bangga, disukai banyak orang, dan tumbuh menjadi gadis mandiri.” Tanpa sadar, Pak Yusuf sudah tersenyum. Sangat tipis, tetapi da begitu banyak kebahagiaan di senyum itu. Matanya menatap langit, memutar kenangan demi kenangan indah bersama Luna. “Saya selalu percaya bahwa anak saya akan berhasil menjadi dokter dengan segala kecerdasan dan kerja kerasnya. Dia akan bertemu dengan laki-laki yang sangat mencintainya. Lalu membangun keluarga yang penuh dengan kebahagiaan.”
Yang bisa Sakti lakukan hanya diam, mendengarkan semua yang diucapkan oleh Pak Yusuf. Ya, semua orang tua selalu mengharapkan yang terbaik untuk anaknya, Sakti percaya akan hal itu. Dan pasti, bundanya juga selalu berharap Sakti dan Bunga hidup bahagia, meskipun mereka sudah berbeda dunia.
Tatapan penuh bahagia Pak Yusuf kini berubah. Antara sedih, putus asa, dan kekecewaan, semuanya menyatu jadi satu. “Tapi, kehendak Tuhan berlainan dengan apa yang selalu saya doakan selama ini, Sakti. Justru, Dia ingin Luna berada dalam pelukan-Nya.” Susah payah Pak Yusuf menelan salivanya. Lalu, beliau menepuk bahu Sakti. “Saya tahu, Luna tidak pernah mau membuat orang tuanya khawatir. Dia cenderung menyembunyikan hal-hal yang membuat kami cemas. Tapi, melihat sinar kebahagiaan di wajahnya malam kemarin, saya merasa dia bisa menjadi dirinya sendiri saat bersama kamu. Tanpa menyembunyikan kesedihan atau rasa sakitnya. Maka dari itu, saya minta tolong sama kamu, jaga anak saya.”
Lidah Sakti kelu seketika. Tidak bisa dipungkiri, ini adalah tanggung jawab yang besar untuknya. Selama ini, Sakti selalu hidup semuanya. Bahkan, dia tidak sungkan untuk mengacuhkan perkataan papanya atau amarah guru-guru yang hampir menyerah padanya. Karena Sakti tidak mau terikat akan sesuatu yang menjadi keputusan manusia, dia ingin menikmati hidup dengan mengikuti kata hatinya.
Dan sekarang, Sakti diberikan mandat untuk menjaga Luna, bertanggung jawab atas gadis itu.
“Satu lagi. Saya mohon, jangan menjauh dari Luna saat kamu tahu sakitnya nanti.”
***
Kaki panjang Sakti terus melangkah memasuki rumahnya. Seperti biasa, dia akan masuk ke dapur terlebih dahulu, untuk menuntaskan dahaganya. Setelah selesai, dia ikut bergabung dengan ayah dan adiknya yang sedang menonton televisi. Keduanya langsung menoleh saat Sakti menyimpan sebuah kotak makanan di atas meja. Lalu, membanting tubuhnya ke sofa.
Pak Hilman melirik jam dinding. Pukul 4 sore, Sakti terlambat pulang untuk pertama kalinya. “Dari mana dulu, Sak? Kenapa baru pulang?”
“Tadi ada kerja kelompok dulu, Yah,” jawab Sakti sembari menyandarkan punggungnya. “Terus, main ke rumah teman.”
Kening Pak Hilman mengernyit. Jelas ini adalah jawaban yang asing dari Sakti. Biasanya, Sakti selalu menjawab baru pulang dari taman, museum, atau pasar jika ditanya alasan pulang telat. Namun, kali ini berbeda. Belum lagi, Pak Hilman meyakini teman yang disebut Sakti di sini bukanlah Miqdad.
Bunga segera membuka otak makan itu, isinya adalah donat kentang yang masih hangat. “Lebih tepatnya, pacar. Cuma, Kak Sakti malu buat ngaku,” celetuk Bunga sembari menikmati donat itu. Mata Bunga berbinar, begitu rasa manis gurih memenuhi rongga mulutnya. Kemudian, Bunga hanya tersenyum mengejek saat Sakti menatapnya sinis. “Calon pacar, maksudnya.”
“Apaan, sih?!” sinis Sakti, tak suka.
Merasa ada yang janggal, Pak Hilman terus melihat ke arah Sakti dengan penuh selidik. Anaknya itu menepati janji seperti perjanjian di antara mereka. Tidak ada lagi panggilan dari kesiswaan yang mengadu kekacauan yang dibuat Sakti. Setiap malam, Pak Hilman selalu mendapati Sakti sedang mengerjakan tugas di kamarnya. Sakti juga selalu pulang sebelum langit gelap. Hanya saja, tidak ada pembahasan tentang kamera atau sekolah fotografi. Perhatian Sakti seperti tidak lagi berpusat pada 2 hal itu.
“Kamu punya pacar?” tanya Pak Hilman, setelah sekian lama diam.
Sakti mengembuskan napas frustasi. “Enggak, Yah. Enggak! Jangan percaya sama omongan Bunga, dia cuma mengarang fiksi!”
“Kenapa lo menolak mentah-mentah banget dipasangkan sama Kak Luna, sih? Dia cantik, baik, juara umum, sopan. Kurang apa coba?” Bunga menatap kakaknya malas. “Enggak usah sok jual mahal, deh, Kak. Gue aja, yang sesama cewek, suka banget sama dia. Apalagi lo, cowok yang enggak pernah suka sama lawan jenis. Gampang!”
Sebuah bantal langsung melayang ke wajah Bunga, berhasil membungkamnya. “Berisik!” dengkus Sakti.
“Ayah enggak apa-apa kalau kamu mau punya pacar. Apalagi kalau perempuannya seperti yang disebut Bunga barusan. Kamu juga banyak berubah akhir-akhir ini, Sak. Dia banyak dampak positif ke kehidupan kamu.”
Tidak mau lagi terlibat dengan pembicaraan ngawur, Sakti lebih memilih untuk segera beranjak dari ruang keluarga. Bantingan pintu kamar menandakan bahwa Bunga dan Pak Hilman berhasil membuat suasana hatinya buruk. Dan bukannya merasa bersalah, ayah dan anak itu justru tertawa.
Tas dan jaket bomber dilemparkan ke meja belajar, Sakti membanting tubuhnya ke atas kasur. Dia menatap langit-langit kamar. Bukan, bukan Sakti mau jual mahal dengan berulang kali menepis perkataan Bunga yang menjodohkannya dengan Luna. Adiknya itu benar, Sakti yang akan menajdi pihak beruntung jika mereka sampai bersama. Namun, di sanalah masalahnya. Sakti merasa, dia tidak pantas untuk Luna. Selain itu, ada hal lain yang dia takuti.
Kalau gue sama Luna memiliki hubungan lebih dari sebatas teman, jika Tuhan berkehendak lain, rasa kehilangan yang nanti akan gue rasakan akan jauh lebih sakit dari sekedar teman. Gue takut.
*
*
*
Sabar .... Cerita ini tuh bagian dari cobaan puasa. Kalian bakal tahu penyakit Luna hari Sabtu. Jadi, tahan dulu, yaaa.Bini Ceye,
21.21, 21 April 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine [Tamat]
Teen FictionKalian pasti sudah tidak asing lagi dengan peribahasa 'Don't judge a book by its cover', bukan? Bisa saja, orang yang terlihat memiliki kehidupan sempurna ternyata mempertanyakan keadilan Tuhan. Bisa saja, orang yang berandalan yang tidak tahu atura...