Amaranthine 46

645 95 3
                                    

Luna Kinandita adalah anugerah terindah dalam hidup Bu Zihan dan Pak Yusuf

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Luna Kinandita adalah anugerah terindah dalam hidup Bu Zihan dan Pak Yusuf. Di saat Bu Zihan tidak bisa menjadi wanita sempurna karena tidak mampu memberikan keturunan, Tuhan mengirim Luna. Bayi mungil dengan mata berbinar itu tumbuh menjadi gadis yang membanggakan. Tidak pernah melawan orang tua, selalu mencetak prestasi, juga paling ahli membuat kedua orang tuanya tersenyum. Hanya saja, Tuhan mengizinkan Bu Zihan dan Pak Yusuf bersama Luna hanya selama 17 tahun.

“Sudah siap, Nak?” tanya Pak Yusuf saat mendapati Luna baru saja keluar dari kamarnya. Gadis itu sudah menggunakan gaun putih, serta rambut yang tetap digerai meski sebagian sudah memutih. “Anak papa cantik banget hari ini. Udah mirip bidadari yang turun dari surga.”

“Papa bisa aja. Papa juga ganteng pake kemeja itu.” Luna balik memuji sang papa. Lalu, dia melirik mamanya yang duduk di sofa, menatap Luna dengan penuh kelembutan. “Aku mau dirawat, Ma. Pulang dari ulang tahun Kak Sakti nanti, kita langsung ke rumah sakit aja.”

Bu Zihan membuang napas panjang. “Gak perlu. Kalau memang kamu gak mau dirawat, mama gak akan memaksa lagi. Biar mama aja yang rawat kamu di sini, di rumah.” Bu Zihan bangkit dari duduknya, beliau menghampiri Luna yang terlihat begitu menawan. “Maaf tadi mama udah teriak-teriak. Mama gak bisa mengendalikan rasa khawatir mama sama kamu.”

“Iya, Ma, gak apa-apa. Luna maklum, memang Luna yang keras kepala.”

“Nah, karena sekarang udah paling minta maaf dan memaafkan, gimana kalau kita langsung jalan aja? Kita udah telat, lho. Gak enak sama keluarga Sakti.” Pak Yusuf merangkul 2 perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya itu. “Yuk, kita jalan sekarang. Papa udah gak sabar makan kue ulang tahun.”

Baik Luna maupun Bu Zihan, keduanya terkekeh mendengar ucapan Pak Yusuf.

Sepertinya, Tuhan memang ingin ulang tahun Sakti berjalan dengan lancar. Langit yang selama berhari-hari mendung, kini tampak cerah. Matahari yang biasanya terhalang oleh awan hitam, kini bersinar dengan ceria. Luna memeluk erat kado yang sudah dia persiapkan sejak kemarin. Kado sederhana yang ia harapkan akan disukai oleh Sakti. Dan begitu sampai di depan rumah Sakti, Luna berulang kali menarik napas dalam-dalam.

“Ya ampun, Kak Luna cantik banget!” pekik Bunga saat melihat Luna baru saja turun dari mobil. Itu bukan bualan semata. Entah mengapa, meski penampilan Luna sudah tidak pantas disebut sebagai remaja, Bunga merasa Luna sangat cantik hari ini. Seperti ada cahaya yang mengelilingi perempuan itu. “Yuk, langsung masuk aja.” Bunga menggandeng tangan Luna. “Dekorasinya bagus, lho, Kak. Kalau aku ulang tahun nanti, aku mau pakai jasa dekorasi yang sama kayak Kak Sakti.”

Luna terkekeh. “Bukannya kemarin jamu bilang ulang tahun kamu mau dirayakan di kafe ala anak muda aja, bukan pakai konsep garden party?”

Bunga hanya tersenyum kuda. “Kirain gak bakal sebagus itu. Ehehe ....”

Keduanya terus melangkah menuju halaman samping, sementara orang tua mengekori sambil bercengkrama dengan Pak Hilman. Beberapa detik Luna lalui tanpa suara. Seluruh dunia mendadak membisu saat dia mendapati Sakti tampak menawan dengan tuxedo putih miliknya. Rambut Sakti tersisir rapi ke belakang, wajahnya tampak berseri-seri, tangannya memegang sebuket bunga amaranth. Laki-laki itu berjalan mendekati Luna, lalu memberikan buket bunga buatannya sendiri.

“Buat kamu.” Sakti menyerahkan buket amaranth itu. “You look so gorgeous today.”

Thank you,” singkat Luna. “Kak Sakti juga kelihatan ganteng hari ini.”

Terdengar decakan keras dari Bunga. Dia memutar bola matanya malas saat melihat Sakti sudah tersenyum malu-malu karena pujian Luna barusan. “Jangan dipuji, Kak. Dia suka langsung gak tahu diri,” celetuk Bunga pada Luna. Dia hanya menjulurkan lidah saat Sakti melotot. “Daripada lo marah sama gue, mending kita langsung potong kue aja. Kasihan teman-teman lo, pasti udah lapar.”

Begitu rangkulan Bunga terlepas, Luna segera menerima uluran tangan Sakti. Dia terus mengedarkan pandangan, takjub dengan dekorasi outdoor untuk ulang tahun Sakti. Karena tidak banyak orang yang hadir di sana, kesan kekeluargaan semakin kuat terasa.

“Hai, Lun,” sapa Rio. Dia sudah datang sejak setengah jam yang lalu, bersamaan dengan Miqdad. Untungnya laki-laki itu tidak terlalu judes padanya. “Kamu cantik pakai gaun itu.”

“Makasih, Kak,” jawab Luna seadanya.

“Buat gue, lo yang bikin gaunnya cantik,” celetuk Miqdad tidak mau kalah. Senyumnya semakin lebar saat berhasil membuat Luna tertawa. “Tuh, kan. Tambah cantik jadinya.”

Tidak tinggal diam, Sakti melayangkan tatapan tajam andalannya pada Miqdad. “Lo udah berani sekarang, ya? Gue masih di sini, Dad. Gak usah macam-macam, deh,” protes Sakti, tak terima. Lalu, dia merangkul pinggang Luna. “Hari ini ulang tahun aku. Jadi, kamu fokus aja sama aku. Paham?”

“Iya, iya.” Luna duduk di salah satu kursi yang sudah ditata di sana, tepat di samping Sakti. Entah mengapa, meski matahari sudah terbit terik hari ini, Luna terasa tubuhnya dingin tiba-tiba. Berusaha untuk fokus pada Sakti, Luna hanya menggelengkan kepala, mengusir pemikiran anehnya. “Oh, iya. Ini hadiah dari aku. Gak beberapa, sih. Tapi aku bikin semua ini sendiri. Semoga, Kak Sakti suka.”

“Bukannya hadiah dari kamu udah, ya? Waktu di puncak kemarin, waktu kita di pinggir danau,” bisik Sakti, mengingatkan Luna. Dia tertawa saat gadis itu melotot. “Makasih buat hadiahnya. Padahal, kamu gak perlu repot-repot. Dengan kedatangan kamu aja, aku udah bahagia banget.”

Luna memegang tangan Sakti, membuat kehangatan dari laki-laki itu membuatnya merasa nyaman. “Selama ini, selalu Kak Sakti yang kasih hadiah buat aku. Dan aku cuma balas di hari ulang tahun Kak Sakti.”

“Kehadiran kamu dalam hidup aku udah lebih dari cukup, Lun. Aku bahagia bisa ketemu kamu, bisa jatuh cinta sama kamu. Makasih udah terlahir sebagai Luna, ya?” Kemudian, tangan Sakti terukur untuk mengusap pipi Luna penuh sayang. “Aku sayang banget sama kamu.”

Belum sempat Luna menjawab pernyataan sayang Sakti, Pak Hilman sudah memberi aba-aba untuk semua orang supaya duduk melingkari meja. Beliau sudah memegang kamera dan menyiapkan tripod untuk mengabadikan momen itu. Beberapa orang duduk di kursi, sebagian lagi berdiri. Dan tepat di belakang Luna, berdiri kedua orang tuanya dengan senyum yang lebar.

“Kak Sakti,” panggil Luna. “Aku juga bahagia bisa kenal Kak Sakti, bisa membuat kenangan indah bareng Kakak, terus kita saling jatuh cinta. Kak Sakti adalah bagian paling indah dalam masa remaja aku. Makasih udah mencintai aku dengan begitu tulus, gak peduli dengan perubahan fisik aku selama ini. Aku juga sayang sama Kak Sakti, sayang banget.”

“Kamu juga bagian paling indah dalam cerita aku, Luna.” Sakti merangkul bahu Luna, lalu tersenyum ke arah kamera.

Sekuat tenaga Luna juga melakukan yang sama. Dia berusaha menarik sudut bibirnya, tersenyum pada kamera yang mengabadikan momen itu. Beberapa kali Luna beringsut dalam pelukan Sakti, berusaha mencari kehangatan di sana. Namun, belum sempat Luna melihat hasil jepretan itu, rasa kantuk tiba-tiba menghampirinya. Luna terlelap, perlahan tapi begitu pasti. Meninggalkan tangisan semua orang yang takut kehilangannya.

*
*
*
Gimana? Udah siap buat pisah sama Amaranthine?

***Gimana? Udah siap buat pisah sama Amaranthine?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sakti siap pisah sama reader?

Bini Ceye,
20.07, 14 Mei 2021.

Amaranthine [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang