Jika Luna tidak salah memperkirakan, 3 km lebih Sakti mengendarai skuter sambil memboncengnya. Untungnya, jalanan di desa itu tidak terlalu berkerikil atau naik turun, sehingga Luna merasa nyaman sepanjang perjalanan. Dan sekarang, mereka berdua sedang berdiri di tengah-tengah kebun teh sembari menghirup.udara segar dalam-dalam.
“Lun,” panggil Sakti. “Bentar lagi aku ulang tahun, lho.”
Mata terpejam Luna lantas terbuka. Dia melirik Sakti yang berdiri di hadapannya sembari memasukkan tangan ke saku jaketnya. “Aku ... ingat, kok.”
Tanpa alasan yang jelas, Sakti tertawa sembari menggelengkan kepalanya. “Udah, gak usah pura-pura kayak gitu. Aku enggak marah kalau kamu lupa.” Kemudian, Sakti mengusap puncak kepala Luna. “Kamu mau birthday party kayak gimana?”
“Kak Sakti yang ulang tahun, kenapa malah tanya sama aku?” Luna mengernyitkan kening. Terkadang, Sakti memang lebih membingungkan dibandingkan anak gadis sekali pun.
“Karena aku juga enggak tahu.” Sakti kembali memasukkan tangannya ke saku jaket. Dia mengedarkan pandangan, menikmati pemandangan indah yang mengelilingi mereka saat ini. “Waktu ditanya sama ayah, aku cuma bisa bengong kayak orang bego. Lagian, waktu bunda masih ada juga, ayah enggak pernah nanya begitu. Kan, aku cowok, dikasih uang jajan lebih banyak dari biasanya aja udah cukup, enggak perlu pakai party-party segala.”
Luna terkekeh mendengar penuturan panjang Sakti. Namun, di sisi lain, dia juga membenarkan perkataan Sakti. Anak laki-laki beda dengan anak gadis, mereka tidak peduli dengan segala bentuk perayaan-perayaan. “Mungkin, Om Hilman cuma mau ulang tahun Kak Sakti yang sekarang terasa beda aja. Yang namanya orang tua, 'kan? Pasti mau melakukan apa aja yang sekiranya bikin anak mereka senang.”
“Makanya aku nanya sama kamu. Kamu mau birthday party kayak gimana?” Sekali lagi, Sakti menyuarakan tanda tanya yang sejak semalam menyita pikirannya. “Garden party? Kemarin kamu bilang mau datang ke garden party, tapi enggak tahu acara siapa, 'kan? Nah, acara ulang tahun aku aja, gimana?”
“Kak, ini acara ulang tahun Kakak. Masa mau pakai konsep yang aku mau?”
Sakti menatap Luna bingung. “Emang apa salahnya?” Dengan wajah polos, Sakti bertanya demikian. “Nih, dengar aku baik-baik. Acara ulang tahun nanti bertujuan bikin aku senang, 'kan? Aku senang kalau kamu juga senang. Kamu senang kalau datang ke acara garden party, ya ... aku pakai konsep itu aja.”
Tidak ada yang bisa Luna katakan untuk menjawab serangkaian kalimat yang diucapkan Sakti. Dia hanya bisa menatap laki-laki itu lekat. Luna merasa sangat beruntung bisa bertemu dengan Sakti sebelum ia pergi. Laki-laki di hadapannya ini sangat tulus, sangat mencintainya dengan begitu besar. Luna bersyukur Tuhan sudah memberi tahunya bahwa dia bisa dicintai dengan cara seperti itu oleh salah satu pemuda yang ada di muka bumi. Bahkan, dengan penampilan Luna yang sudah tidak cantik lagi, kasih sayang Sakti padanya sama sekali tidak berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine [Tamat]
Teen FictionKalian pasti sudah tidak asing lagi dengan peribahasa 'Don't judge a book by its cover', bukan? Bisa saja, orang yang terlihat memiliki kehidupan sempurna ternyata mempertanyakan keadilan Tuhan. Bisa saja, orang yang berandalan yang tidak tahu atura...