Setelah memarkirkan motor di garasi, Sakti segera masuk rumah melalui pintu samping. Dari kejauhan, dia bisa melihat Bi Minem sedang melipat pakaian di depan TV, ditemani acara gosip malam yang menjadi cinta sejatinya. Sesekali fokus merapikan pakaian, sesekali juga melirik wajah artis papan Indonesia yang ada di layar TV. Sakti geleng-geleng kepala melihatnya, Bi Minem memang unik.
"Ayah udah pulang, Bi?" tanya Sakti sembari masuk ke dapur.
Tidak langsung menjawab, Bi Minem melirik jam dinding terlebih dahulu. Pukul 19.45, dan Sakti baru sampai rumah. Sudah pasti bukan karena mengikuti ekskul atau sebagainya, melainkan keluyuran untuk mencari momen yang layak diabadikan.
"Udah dari tadi, Den. Udah ngomel-ngomel, udah makan malam, lanjut ngomel-ngomel lagi," jawab Bi Minem, tidak ada takut-takutnya terdengar oleh Pak Hilman-ayah Sakti. "Den Sakti jangan bandel-bandel mulu, dong. Kasihan bapak, lho, Den. Masa harus tiap hari ngomel begitu? Pasti capek."
Setelah selesai menuntaskan dahaga di lehernya, Sakti kembali ke ruang tengah. Sama, dia juga lelah mendengar ocehan Bi Minem yang itu. "Bukan bandel, Bi. Cuma menikmati hidup dengan cara sendiri."
Bi Minem melirik putra majikannya itu, beliau mencebikkan bibir. "Kalau udah tua nanti, pasti Den Sakti menyesal, punya anak yang bandelnya lebih-lebih."
Senyum miring langsung terbit di wajah Sakti. "Apaan, sih? Kejauhan Bibi mikirnya." Boro-boro anak yang lebih bandel, pacar saja Sakti tidak pernah punya. Karena menurutnya, pacaran hanya hubungan yang membuat dia tidak bisa lagi memiliki kebebasan.
Baru saja Sakti hendak berlalu ke kamarnya, tetapi harus terhenti saat derap langkah di tangga menyeruak ke seluruh sudut rumah. Pak Hilman sedang turun dengan wajah kusutnya. Marah karena anaknya selalu berulah, lelah dengan segudang pekerjaan yang tidak ada habisnya, juga pusing karena tidak cukup tidur. Dan begitu sampai di lantai dasar, beliau langsung duduk di sofa, ikut menonton dengan Bi Minem.
"Duduk, ayah mau bicara."
Sakti mengembuskan napas kasar. Tungkai kakinya terpaksa melangkah, mengikuti kemauan sang ayah. Dia melepas tas dan duduk di single sofa. "Apa lagi, Yah?"
Napas yang keluar dari bibir Pak Hilman jauh lebih kasar dari Sakti. Beliau menatap anaknya jengkel. "Setelah apa yang kamu perbuat hari ini, kamu masih bisa nanya apa lagi yang mau ayah bicarakan?" tanya Pak Hilman dengan nada frustasi. "Kamu benar-benar keterlaluan, Sakti." Kepala Pak Hilman menggeleng. "Bisa kamu kasih tahu ayah kenapa bolos lagi hari ini? Selain alasan tidak suka dengan mata pelajarannya, tentu saja."
"Yah, Sakti itu enggak ada bakat kalau udah berurusan sama angka, sama nama ilmiah, sama nama senyawa gitu. Kalau dipaksa, kepala Sakti bisa pusing. Daripada pingsan, bikin repot orang lain, mending keluar, 'kan?" jawab Sakti dengan menggebu-gebu. Seakan-akan, yang dia lakukan selama ini adalah tindakan yang paling benar.
Mata Pak Hilman memicing. "Tapi, yang ayah dengar, kamu juga tidak ikut kelas kesenian kemarin."
Lagi, Sakti membuang napas kasar. Kali ini dilengkapi dengan tatapan lesu pada sang ayah. "Yah, gak usah sekolah aja, ya? Aku ada tahu bakat aku apa, mendingan langsung sekolah fotografi aja supaya jadi profesional muda. Iya, 'kan?" Sakti tersenyum lebar. Begitu mudah ia berkata demikian dan itu bukanlah akhirnya. "Biar Bunga aja yang ganti Ayah nanti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine [Tamat]
TeenfikceKalian pasti sudah tidak asing lagi dengan peribahasa 'Don't judge a book by its cover', bukan? Bisa saja, orang yang terlihat memiliki kehidupan sempurna ternyata mempertanyakan keadilan Tuhan. Bisa saja, orang yang berandalan yang tidak tahu atura...