Amaranthine 24

710 126 8
                                    

Dengan ragu, akhirnya Luna berjalan menuju depan kelas, melemparkan senyum pada seorang gadis cantik sebelum akhirnya dia memperkenalkan diri pada anak-anak yang di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dengan ragu, akhirnya Luna berjalan menuju depan kelas, melemparkan senyum pada seorang gadis cantik sebelum akhirnya dia memperkenalkan diri pada anak-anak yang di sana.

“Selamat siang, semuanya. Perkenalkan, nama kakak Luna. Untuk hari ini, Kakak yang akan menjadi guru kalian semua.”

Anak-anak langsung bersorak gembira, menyambut Luna dengan penuh hangat. Gadis itu juga tersenyum, sangat lebar, sangat tulus, lebih kebahagiaan.

“Sekarang, kita akan belajar matematika dulu, ya.”

Sakti terus mengarahkan kameranya kepada Luna. Ketika gadis itu melemparkan senyum manis, saat menulis di papan seadanya, juga saat ia menerangkan, semuanya terlihat cantik di mata Sakti. Dia juga sangat bahagia melihat wajah cerah Luna. Sikap dewasanya jauh lebih kuat saat dihadapkan dengan anak-anak.

“Apa kabar, Sak?” tanya Indah—gadis seumuran Sakti yang tinggal di daerah sana. “Udah lama banget enggak mampir ke sini. Enggak mungkin karena banyak tugas sekolah, 'kan? Selama ini, lo selalu bolos.”

Sakti menurunkan kameranya. Memeriksa hasil jepretannya terlebih dahulu, sebelum menoleh ke arah Indah. “Tapi enggak mungkin juga gue bilang kalau gue rajin bolos sama anak-anak di sini,” jawab Sakti dengan santai. “Gue sibuk aja. Bukannya enggak ingat sama anak-anak di sini, cuma emang enggak bisa datang.”

“Terus, cewek yang namanya Luna itu siapa? Tumben banget lo bawa orang lain ke sini. Cewek lo?” Mata Indah membeliak saat Sakti menganggukkan kepalanya. “Serius?!”

Terdengar decakan keras dari Sakti. Dia menatap Indah malas. “Kenapa? Enggak mungkin banget gue dapat cewek secantik dia?”

Kali ini, giliran Indah yang mengangguk.

“Buktinya, gue datang ke sini sama dia, 'kan? Lagian, gue enggak jelek-jelek amat kali.”

“Iya, sih.” Indah mengangguk setuju. “Tapi, gue enggak nyangka aja lo suka sama cewek yang lebih tua.”

Senyum percaya diri Sakti luntur seketika. Dia sama sekali tidak menyangka komentar seperti itu yang akan Indah ucapkan. Namun, sebisa mungkin dia mengendalikan ekspresi wajahnya. “Cinta itu buta, Dah,” sahut Sakti pada akhirnya. “Gue juga enggak menyangka orangnya adalah Luna.”

Selanjutnya, mereka sama-sama diam. Memperhatikan Luna yang sedang mengajarkan matematika sederhana di depan kelas. Sesekali, gadis itu melirik Sakti, meminta diyakinkan bahwa apa yang dia lakukan memang benar. Namun, Luna masih bisa mengendalikan ekspresi bingungnya. Dia banyak tersenyum pada anak-anak, terlihat cukup luwes mengajar meski baru pertama kali. Bahkan, Luna juga mengajak anak-anak untuk bernyanyi penjumlahan kecil.

Sakti bahagia melihat senyum cerah Luna. Memang, membahagiakan gadis itu tidak memerlukan usaha yang besar, Luna bisa bahagia dengan hal-hal sederhana. Bahkan, di rumah panggung ini saja, Luna berbekas kali meledakkan tawanya melihat tingkah lucu anak-anak di sana. Luna terus bermain sambil belajar bersama mereka sampai jam makan siang.

Amaranthine [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang