“Lun, lo enggak apa-apa?”
Lamunan Luna langsung buyar karena Sakti mengetuk dahinya. Berulang kali juga gadis itu mengedipkan mata, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Tatapan penuh tanya—sekaligus khawatir—dari Sakti mampu menghipnotis Luna, membuatnya hanya terus terdiam untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya, dia menunduk dan mendapati tangannya sedang memegang dada, tepat di bagian jantung.
“Dada lo sakit, ya?” Sakti kembali bersuara.
“Hah?” Alis kanan Luna terangkat secara refleks. Susah payah untuknya menarik pandangan dari Sakti, Luna lebih memilih untuk membuang muka. “Hmm ... cuma dikit. Sekarang udah enggak lagi, kok.”
“Sedikit juga enggak bisa dianggap sepele, Lun. Gue kasih tahu mama lo, ya? Gue takut lo kenapa-napa.”
Baru saja Sakti bangkit, dia harus kembali terduduk karena Luna menarik pergelangan tangannya kuat-kuat. Gadis itu menggelengkan kepala, memohon kepada Sakti untuk tidak mengatakan apa pun kepada sang mama. Karena selalu, alasannya adalah Luna tidak mau membuat orang tuanya khawatir. Terlebih, jawabannya tadi tidak seperti yang Sakti bayangkan. Bukan sakit yang menyiksa, tetapi sakit yang Luna suka. Entah karena apa.
“Aku enggak apa-apa, Kak. Enggak perlu bilang sama mama juga, kok. Udah enggak berasa lagi sakitnya.” Luna tersenyum, berusaha meyakinkan Sakti. “Daripada kita di sini, gimana kalau kita ke halaman samping aja? Aku baru tanam banyak bunga sama mama tadi pagi. Kak Sakti lihat, yuk!”
Sakti hanya bisa mengikuti langkah Luna yang sudah menariknya dengan penuh antusias. Mereka melewati ruang keluarga yang didominasi warna cokelat, melewati sebuah pintu yang terpampang jelas nama Luna, hingga akhirnya sampai di halaman samping rumah yang begitu penuh warna. Benar, di sana ada banyak sekali bunga. Tanah mereka yang masih menggunung cukup sebagai ciri bahwa tanaman itu baru belum terlalu lama tertanam di sana.
Keduanya duduk di sebuah gazebo. Luna menengadah, membiarkan sinar oranye matahari sore menyentuh wajahnya dengan leluasa. “Kalau aku lagi sumpek di kamar, aku biasanya ke sini. Mengangkat kepala suapaya sinar matahari mengenai wajah aku, berasa dipijit.” Luna menoleh, mendapati Sakti sedang memandangnya. “Kak Sakti coba, deh. Pasti nanti ketagihan.”
“Harus, ya?” tanya Sakti dengan senyum miring.
“Coba aja dulu.” Luna tersenyum saat Sakti menuruti perkataannya. Kemudian, gadis itu ikut memandangi matahari. Menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan matanya perlahan. “Dengan cara begini juga kita bisa mensyukuri semua kasih sayang Tuhan. Apa pun yang terjadi sama kita, senang atau sedih, sesuai harapan kita atau datang sebagai kejutan, itu semua adalah yang terbaik untuk hidup kita.”
Setelah itu, tidak ada yang bersuara di antara keduanya. Hanya sedikit angin sore yang membelai telinga sepasang manusia itu. Bukan hanya wajah mereka pula yang hangat. Turun ke leher, berhenti di dada, hangat itu menjalar memeluk keduanya. Antara karena sinar matahari dan karena kebersamaan mereka saat ini, entah yang mana yang lebih mendominasi. Hanya saja, Sakti menyadari sesuatu. Luna benar, sesederhana ini, bisa membuatnya merasa bersyukur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine [Tamat]
Ficção AdolescenteKalian pasti sudah tidak asing lagi dengan peribahasa 'Don't judge a book by its cover', bukan? Bisa saja, orang yang terlihat memiliki kehidupan sempurna ternyata mempertanyakan keadilan Tuhan. Bisa saja, orang yang berandalan yang tidak tahu atura...