Luna baru saja keluar dari kamar yang akan menjadi tempat tidurnya selama di Puncak. Berulang kali dia mengedarkan pandangan, menilai interior villa milik Pak Hilman, sebanyak itu pula ia merasa kagum. Villa keluarga Sakti dicat seluruhnya dengan warna putih, hanya bagian lantainya yang diperbuat dari kayu. Sebagian besar furnitur berwarna hitam dan cokelat, memadukan warna putih yang sudah sangat dominan.
“Sayang, kamu udah minum air hangat?” tanya Bu Zihan. Kamar orang tua Luna berada tepat di samping, supaya memastikan tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada Luna di situasi tidak terduga. Beliau memberikan segelas air hangat pada putri kesayangannya. “Pakai jaket terus, ya? Di sini udaranya dingin. Terus, kalau tenggorokan kamu—”
“Iya, Ma, aku tahu,” potong Luna dengan cepat. Bukan bermaksud kurang ajar, mamanya itu sudah mengatakan hal yang sama sebanyak 8 kali hari ini. “Mama masih beres-beres? Aku kayaknya mau keliling villa ini dulu.”
Bu Zihan celingak-celinguk. “Mending ditemani sama Nak Sakti. Kamu belum tahu daerah ini juga, 'kan?”
“Ma.” Tangan Luna terulur untuk memegang bahu mamanya. Jelas sekali Bu Zihan serba khawatir sejak tadi. “Aku cuma mau keliling villa ini, enggak akan keluar dari sini, kok. Seluas-luasnya villa ini, aku enggak akan sampai nyasar juga. Mama jangan khawatir berlebihan kayak gitu. Di sini kita mau liburan, jangan sampai Mama stres sendiri cuma buat memikirkan aku.”
Terdengar helaan napas panjang dari Bu Zihan. Beliau tersenyum kecut, menyesali kekhawatirannya yang bisa dilihat dengan sangat jelas oleh Luna. “Ya sudah, kamu hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa, Mama sama papa ada di kamar.”
Kepala Luna mengangguk, kemudian ia melangkah meninggalkan sang mama setelah memberikan kembali gelas air hangatnya. Mumpung yang lain masih sibuk dengan barang bawaan masing-masing, Luna punya waktu untuk berkeliling sendiri.
Tidak ada kebaikan Sakti yang perlu dipertanyakan lagi, bahkan keluarganya sudah sangat baik pada Luna. Pak Hilman terlihat sangat bersemangat selama perjalanan tadi, menceritakan tentang masa kecil Sakti dan Bunga di villa ini. Beliau juga merekomendasikan penjual jagung bakar keliling yang setiap malam selalu melewati villa ini. Katanya, Luna dan keluarganya pasti akan suka. Jika diingat kembali, Pak Hilman jauh lebih cerewet dibandingkan Bunga seharian ini.
“Persis di tempat Non Luna berdiri, mendiang ibu suka sekalu melakukan hal yang sama.” Luna menoleh, mendapati Bi Minem sedang tersenyum ke arahnya. “Seperti itu, Non. Menatap darahnya langit, terus tarik napas dalam-dalam sambil senyum kayak barusan. Ibu senang sekali melakukan hal itu.”
Hanya bisa tersenyum kikuk, Luna menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. “Cuma kebetulan aja, Bi.”
“Tapi mirip, Non. Apalagi kalau Non sama ibu juga sama-sama cantik.” Sekarang, Bi Minem berdiri tepat di samping Luna. Beliau melakukan hal yang sama, menatap birunya langit dan mengambil oksigen menyegarkan sebanyak mungkin. “Ini juga kali pertamanya bapak mau ke ini lagi, setelah kepergian ibu. Biasanya, kalau liburan ke Puncak, bapak lebih memilih untuk tidur di hotel aja daripada di sini.”
Kening Luna mengernyit. “Kok, begitu?”
“Bapak gak suka sepi, Non. Kecuali, kalau emang lagi kerja.” Kemudian, Bi Minem berbalik, mengedarkan pandangannya ke seisi villa. “Mungkin juga, bapak gak siap kalau datang ke sini cuma bertiga sama anak-anaknya. Karena di sini ada banyak sekali kenangan sama ibu.”
Bi Minem masih mengingat dengan jelas bagaimana bahagianya keluarga Sakti setiap kali berlibur ke villa ini. Bagaimana perfeksionisnya mendiang bunda Sakti mengenai makanan sehat yang harus dibawa, Pak Hilman yang tertawa melihat pertengkaran Sakti dan Bunga, juga Bi Minem yang melihat semua itu sebagai kejadian yang akan tersimpan sebagai kenangan indah.
“Bi, kalau nanti saya udah gak ada, Bibi tolong ada Kak Sakti, ya?” ucap Luna tiba-tiba.
“Lho, emang Non Luna mau ke mana?”
Luna tersenyum tipis mendengar pertanyaan itu. Kali ini, Bi Minem benar-benar tidak tahu, bukan sekedar pura-pura. “Saya sakit, Bi. Kanker tiroid. Belum lagi, saya akan mengalami penuaan lebih cepat dari orang normal, umur saya udah gak lama lagi.”
Berulang kali Bi Minem mengedipkan matanya. “Oh, jadi begitu? Karena Non Luna mengalami penuaan yang lebih cepat dari orang lain, jadi Non Luna kelihatan lebih tua dari Den Sakti? Pantas aja, Bibi gak kenal sama Non Luna pas makan malam itu.” Dengan polos, Bi Minem mengeluarkan pendapatnya. Lalu, beliau melipat kedua bibirnya, menyadari sesuatu. “Aduh, maaf, Non. Bibi enggak bermaksud menyinggung.”
“Iya, gak apa-apa. Lagian, akting Bibi malam itu juga enggak alami. Saya bisa langsung tahu kalau Bibi heran sama penampilan saya,” jawab Luna dengan nada bercanda. Bi Minem hanya bisa menyengir kuda mendengarnya. “Makanya, saya minta tolong dari sekarang sama Bi Minem. Jaga Kak Sakti, pastikan nanti dia ketemu sama perempuan baik.”
Tidak langsung menjawab, Bi Minem malah menatap Luna lekat-lekat. Baru saja Sakti berubah, baru saja pemuda itu bertemu dengan seorang gadis yang memberikan warna baru dalam hidupnya, Tuhan malah akan membawa Luna dalam waktu dekat. “Non Luna bisa sembuh, 'kan? Dulu, ibu juga kanker, Non. Ibu sering ke rumah sakit, buat terapi. Kan, Non Luna masih muda, pasti kemungkinan sembuhnya juga besar, 'kan?”
“Saya memilih untuk menghabiskan sisa waktu saya dengan orang-orang yang saya cintai daripada di rumah sakit, Bi. Saya gak tahu kapan saya meninggal. Dan saya kan sangat menyesal jika saya menyesal di rumah sakit. Saya mau meninggal di tenagh-tengah orang yang menyayangi saya.”
Perlahan tapi pasti, Bi Minem menarik Luna ke dalam pelukannya. Beliau mengusap rambut panjang Luna. Dan tidak bisa dipungkiri, beliau kaget bukan main saat mendapati rambut Luna sudah sebagian beruban. “Non Luna tenang aja, Den Sakti akan Bibi jaga dengan baik. Karena bagaimana pun juga, Den Sakti udah seperti anak Bibi sendiri.”
“Pastikan nanti ia hidup bahagia dengan perempuan yang baik, ya, Bi. Jangan biarkan dia sedih berlarut-larut sama kepergian saya.” Tangan Luna membalas pelukan Bi Minem lebih erat.
Sejujurnya, sangat berat untuk membayangkan Sakti bersama perempuan yang lain. Namun, Luna menyadari, dia tidak diciptakan untuk bagian selamanya dari cerita Sakti. Dia hanya tercipta untuk menjadi bagian kecil dari masa remaja Sakti. Meski begitu, setidaknya, mereka telah menciptakan kenangan indah bersama, melakukan banyak hal yang menyenangkan, dan saling jatuh cinta. Itu semua cukup untuk Luna, sudah sangat lebih dari cukup.
Sementara itu, tanpa Luna ketahui, Sakti sedang berdiri di balik tembok sambil memegang sweater merah muda yang diperuntukkan untuk dirinya.
*
*
*
Mereka itu saling mencintai. Hanya saja, takdir tidak bisa diajak berkompromi. Eh, jari author aja yang udah kayak ibu tiri. Hihihi ....
Bini Ceye,
05.11, 07 Mei 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine [Tamat]
Teen FictionKalian pasti sudah tidak asing lagi dengan peribahasa 'Don't judge a book by its cover', bukan? Bisa saja, orang yang terlihat memiliki kehidupan sempurna ternyata mempertanyakan keadilan Tuhan. Bisa saja, orang yang berandalan yang tidak tahu atura...