"Sayang, ada Sakti di depan," ucap Bu Zihan sekembalinya menyiram tanaman depan. "Katanya, mau ajak kamu pergi. Sana, temui dulu."
Kening Luna mengernyit. Apa lagi yang direncanakan laki-laki itu? Sekarang masih pukul 7, dan ia sudah berada di depan rumah Luna untuk mengajaknya pergi. Luna menaikkan kacamata yang ada di hidungnya. Dia segera berjalan menghampiri Sakti. Laki-laki itu berdiri di depan gerbang sembari mengobrol dengan seseorang yang ada di dalam mobil putih.
"Tunggu sebentar, ya, Pak. Pacar saya bentar lagi ke sini, kok," ucap Sakti pada sopir taksi online yang mengantarnya ke Jalan Kemang Raya, ke rumah Luna. Sakti berbalik, mendapati Luna sedang menatapnya heran. "Nah, itu dia!" serunya setengah berteriak. "Pergi, yuk? Jalan-jalan pagi."
Langkah Luna kembali dilanjutkan. Sekarang, mereka sudah berdiri berhadapan. "Ngapain pagi-pagi begini Kak Sakti ke sini? Terus, mau ajak aku jalan-jalan? Kak, ini jamnya sekolah."
"Aku juga tahu. Jam 7 pagi di hari Senin, emang waktunya sekolah," jawab Sakti dengan begitu santai. Dia bersandar ke gerbang, menatap Luna dengan senyum tipisnya. "Di sekolah lagi ada porak. Karena aku enggak ikut berpartisipasi, daripada cuma jadi penonton, mending aku jalan sama kamu, 'kan?"
Luna langsung melipat kedua tangannya di depan dada. "Katanya, enggak mau bolos lagi, ini apa namanya?"
"Bukan bolos, Lun. Aku ke sini mau jemput kamu. Terus, nanti kita ke sekolah bareng-bareng, naik taksi online." Sakti membuang napas saat Luna menatapnya semakin bingung. "Udah, ganti baju aja dulu. Pake seragam atau baju olahraga. Kita langsung ke sekolah. Kalau belum sarapan, nanti kita makan bubur Bi Eha di kantin."
"Kak-"
"Kamu percaya sama aku, 'kan?" potong Sakti dengan cepat. Luna mengangguk pelan. "Aku enggak akan berani macam-macam sama kamu, Lun. Kan, aku takut sama papa kamu."
Baiklah, Luna memang mengangguk saat dipertanyakan asa percayanya terhadap Sakti. Namun, jujur, dia merasa kurang yakin dengan rencana Sakti kali ini. Luna tidak ragu untuk datang ke Lapak Pemulung, tetapi untuk datang ke sekolah, Luna sedikit takut. Namun, meski demikian, Luna tetap berbalik, kembali masuk ke rumah untuk ganti baju.
"Pacar siapa itu cowok? Idenya ada-ada aja." Luna geleng-geleng kepala. Dia membuka lemari baju, menatap seragam sekolah yang sudah lebih dari 3 bulan hanya menjadi hiasan. "Percaya aja sama Kak Sakti, Luna. Dia enggak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi sama kamu."
Tangan lentik Luna akhirnya mengambil seragam itu. Dasi, sabuk, topi, Luna tampil sangat rapi. Dia juga membawa tas, yang hanya diisi dengan baju ganti, botol minum, dan obat-obatan. Ia membawa masker, memastikan tidak akan ada yang mengenalnya nanti. Setelah siap, barulah ia keluar.
"Ma, aku pergi dulu. Nanti pulang sore, kok. Dadah!" teriak Luna. Dia bergegas keluar rumah karena takut sang mama melihat penampilannya. Bukan apa-apa, Luna hanya tidak mau membuat mamanya khawatir jika tahu tujuan mainnya dengan Sakti kali ini adalah sekolah. "Yuk, cepat! Aku enggak mau sampai mama lihat aku pakai seragam." Luna masuk ke mobil terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine [Tamat]
Roman pour AdolescentsKalian pasti sudah tidak asing lagi dengan peribahasa 'Don't judge a book by its cover', bukan? Bisa saja, orang yang terlihat memiliki kehidupan sempurna ternyata mempertanyakan keadilan Tuhan. Bisa saja, orang yang berandalan yang tidak tahu atura...