Amaranthine 15

884 144 4
                                    

Langkah Sakti sangat tergesa-gesa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langkah Sakti sangat tergesa-gesa. Tepat setelah tubuh Bu Inas keluar kelas, Sakti langsung mengekori. Bahkan, dia juga berpamitan pada wanita muda itu. Tentu dengan senyum menggoda yang membuat Bu Inas menggelengkan kepala. Selanjutnya, Sakti berlari membelah keramaian Widyadharma, berusaha untuk tidak menabrak tubuh para siswa yang batu saja keluar dari kelas masing-masing. Dan pada akhirnya, Sakti memasuki sebuah kafe di seberang sekolah.

“Lho, Kak Sakti ke sini?” tanya Luna dengan wajah polos andalannya. Wajah polos yang akan membuat kecantikannya terlihat begitu alami.

Terdengar embusan napas kasar dari mulut Sakti. Dia capek, mendadak haus. Maka dari itu, dia langsung duduk di samping Luna dan menyambar jus jambu yang ada di atas meja. Setelah bisa mengatur napasnya, barulah Sakti bersuara, “kan, lo di sini. Masa iya gue enggak datang?” jawab Sakti. Dia melirik tas merah jambu yang ada di atas meja. “Beli novelnya banyak banget, ya?”

Kepala Luna mengangguk. “Iya. Aku ambil novel yang punya blurb seru aja.” Di akhir kalimat itu, Luna memamerkan gigi putihnya, membuat Sakti langsung mengalihkan pandangannya. “Kak Sakti ada ekskul atau kerja kelompok, enggak? Kayaknya, aku mau pulang duluan, deh.”

“Ada tugas dari Bu Rina, enggak?” Inilah salah satu kebiasaan Sakti saat berbincang dengan Luna, menjawab pertanyaan dengan pertanyaan yang lain.

Gadis itu menggelengkan kepala, masih dengan wajah polosnya.

“Gimana kalau lo main ke rumah gue? Kan, selama ini, gue yang main ke rumah lo. Sekali-kali, lo yang main ke rumah gue. Ada yang mau gue tunjukkan juga.”

Alis kanan Luna terangkat. Terlalu sering menghabiskan waktu bersama, Luna jadi tahu beberapa karakter Sakti. Laki-laki tunjangan senang memberi kejutan. Membawakan kue kesukaan Luna padahal bukan di hari istimewa, membawa Luna ke tempat yang indah dan belum diketahui banyak orang, bahkan pernah memberi toples yang berisi kertas uang bertuliskan kata-kata penyemangat.

“Di rumah Kak Sakti ada siapa aja?”

“Paling, ada adik gue sama Bi Minem,” jawab Sakti dengan cepat. “Lo kenal sama adik gue, kok. Dia ikut ekskul matematika.” Mata Luna membulat seketika. “Makanya, main ke rumah gue. Entar lo tahu siapa orangnya.”

“Oke, aku ikut.” Luna bangkit dari duduknya. Dia terkekeh saat Sakti membawakan tas ranselnya. Ini juga kebiasaan Sakti, tidak akan membiarkan Luna membawa barang yang berat.

Baru saja Luna hendak memakai helm, tiba-tiba datang beberapa siswi menghampirinya. Mereka semua tersenyum semringah, terlihat bahagia bertemu dengan Luna.

“Ya ampun, Luna. Lo apa kabar?” tanya salah satu dari mereka. Rambutnya hanya sebatas bahu. Dia teman sebangku Luna dulu.

Luna tersenyum kaku. “Aku ... baik,” jawabnya dengan ragu. “Emm ... kalian gimana?” Luna melirik Sakti, memberi isyarat untuk dibebaskan dari mereka semua.

Amaranthine [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang