Amaranthine 39

528 91 2
                                    

Perlahan, mata Luna terbuka saat sinar matahari mengenai permukaan wajahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perlahan, mata Luna terbuka saat sinar matahari mengenai permukaan wajahnya. Dia juga bisa mendengar suara beberapa orang yang sedang bercengkrama tepat di depan jendela kamarnya. Pasti semua orang sudah berkumpul untuk menikmati udara segar Puncak pagi ini. Bahkan, Luna juga bisa mendengar keributan yang dibuat Sakti dan Bunga hanya karena perkara teh manis. Gadis itu tersenyum, lalu beranjak dari atas ranjang setelah merenggangkan tubuhnya.

“Itu jagung punya gue, Sak!” teriak Bunga dengan nada tidak terima.

“Itu masih banyak. Ini buat gue aja,” jawab Sakti dengan nada suara yang sangat santai. “Jangan teriak-teriak juga bisa, gak, sih? Kasihan Luna kalau tidurnya terganggu gara-gara suara cempreng lo!”

Bunga berdecak keras. “Bucin lo!”

Tanpa mereka ketahui, Luna udah tertawa mendengar perdebatan itu. Ia berjalan menuju meja rias untuk bersiap menggunakan pelemhbab. Namun, baru saja Luna saling berhadapan dengan bayangannya di cermin, senyumnya langsung luntur seketika. Jemari lentiknya mengusap wajah dengan kasar.

Aku mohon, jangan sekarang, Ya Tuhan.

Luna melihat pipi kiri dan kanan secara bergantian. Kemudian, perhatiannya terlalu pada permukaan tangannya. Wajah dan tangan Luna sudah mulai berkeriput. Selain itu, terdapat flek hitam juga di wajahnya. Hanya dalam 1 malam, Luna bisa berubah begitu banyak.Kenapa harus sekarang, sih? Kenapa di saat aku mau senang-senang?!

“Sayang, belum bangun?” tanya Bu Zihan dari balik daun pintu. Luna terdiam, masih fokus dengan perubahan fisiknya yang sangat signifikan. “Sayang, bangun, yuk? Yang lain udah pada kumpul, lho. Kita semua lagi makan jagung manis rebus. Jangan sampai jagungnya kehabisan. Luna?”

Dengan langkah gontai, Luna mendekati daun pintu. Perlahan tapi pasti, dia menarik kami pintunya, lalu membiarkan sang mama menatapnya.

“Lho, udah bangun? Mama kira belum,” ucap Bu Zihan, masih tidak menyadari perubahan putri kesayangannya. “Ikut gabung dengan yang lain, yuk? Nak Sakti udah menunggu kamu dari tadi.”

Luna memilih bertahan saat sang mama hendak menariknya keluar. Beliau sampai mengernyitkan kening karena tingkah Luna itu. “Ma,” panggil Luna dengan suara serak, menahan tangis. “Wajah aku mulai keriput,” cicit Luna dengan suara yang sangat kecil.

Sontak saja Bu Zihan langsung berusaha membaca situasi. Mata beliau langsung tertuju pada wajah Luna yang tertunduk. Dan ternyata benar, kulit wajah putrinya itu tidak sekencang tadi malam. Belum lagi terdapat flek hitam di bagian bawah mata Luna. Tangan Luna juga sama, kulitnya mulai mengendur.

“Kita ke rumah sakit, ya?” Mata Bu Zihan mulai berkaca-kaca. Tangannya terukur untuk menyelipkan rambut Luna ke balik daun telinganya. Bu Zihan mulai dilanda panik, tetapi sebisa mungkin mengendalikannya. “Mama coba tanya sama Om Hilman dulu apa di sini ada rumah sakit atau enggak. Kalau enggak ada, kita ke Jakarta sekarang.”

Amaranthine [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang