“Mang, biasa!”
Mendengar teriakan khas itu, Miqdad langsung membalikkan tubuhnya. Dan ternyata, Sakti sudah berdiri tepat di belakangnya. Melihat sahabatnya sudah mau mengantre untuk makan siang di kantin membuat Miqdad senang. Karena selama 2 minggu ini, Sakti lebih memilih memejamkan matanya di kelas. Dia hanya akan memesan roti dan susu pada Miqdad untuk mengganjal perutnya.
“Udah ada kabar dari Luna, ya?” tebak Miqdad dengan penuh percaya diri. Dalam hati, dia bersyukur ketika Sakti menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. “Luna udah bisa mengendalikan lo sepenuhnya, ya, Sak?”
Sakti mendelik tajam saat ditanya demikian. Bukan apa-apa, dia hanya tidak suka kosa katanya saja. “Lo enggak akan paham, Dad. Lo enggak pernah ada di posisi gue, sih.” Baru saja Miqdad hendak membayar semangkuk baso miliknya, Sakti sudah menahan tangannya. “Biar gue aja yang bayar.”
“Wah, serius?” Miqdad langsung tersenyum lebar saat Sakti kembali menganggukkan kepalanya. “Nah, gitu, dong. Sekali-kali, lo juga perlu beramal baik sama orang lain.” Setelah mengatakan itu, Miqdad langsung pergi mencari meja kosong untuk mereka berdua.
Sementara itu, Sakti masih berdiri di depan gerobak Mang Uus, menunggu baksonya disiapkan. Jika ditanya mengapa Luna bisa begitu mengubah Sakti, ia juga tidak tahu alasannya. Karena seperti biasa, Sakti hanya mengikuti kata hatinya. Ia senang saat Luna senang, sedih saat Luna sedih, lalu bisa tidak tahu arah saat Luna tidak ada kabar.
“Pulang sekolah nanti, gue mau ke rumah Luna,” ucap Sakti sembari mendaratkan bokongnya di seberang Miqdad. “Terus, mau nembak dia.”
Saat itu juga, Miqdad langsung tersedak bakso kecil yang baru saja mau ia kunyah. Ia terbatuk lumayan heboh sampai akhirnya bisa reda dengan bantuan air. Dengan wajah memerah, Miqdad menatap Sakti tak percaya. “Lo bilang apa?”
“Nanti gue mau ke rumah Luna. Terus, mau nembak dia,” ulang Sakti dengan begitu santai.
Miqdad benar-benar tidak percaya dengan apa yang diucapkan Sakti. Ini berita bagus, tentu saja. Di saat Miqdad sudah memiliki 3 mantan pacar, Sakti justru baru bisa dekat dengan lawan jenis. Itupun dengan dalih hanya sebagai teman. Hanya saja, Miqdad tidak mau sahabatnya itu patah hati, mengingat banyak sekali laki-laki yang sudah ditolak Luna.
“Iya, gue tahu, Luna udah banyak banget menolak cowok yang bilang suka sama dia. Tapi, kali aja gue beruntung, 'kan? Kalaupun emang harus ditolak, seenggaknya dia udah tahu perasaan gue.” Sakti memasukkan bakso ke dalam mulutnya. “Kenapa lo lihat gue kayak gitu?”
“Enggak, gak apa-apa.” Miqdad menggelengkan kepala, lalu melanjutkan makan siangnya. “Jujur, gue juga pernah suka sama Luna. Tapi, enggak lama. Gue sadar diri aja, sih. Dia terlalu 'wah' buat gue yang biasa-biasa aja. Terlebih, emang enggak pernah ada yang bisa jadi pacar dia. Enggak tahu itu cewek maunya cowok yang kayak gimana.”
Bahu Sakti terangkat acuh. Sama, dia juga tidak tahu. Karena pembicaraan mereka selama 2 bulan ini tidak pernah menyentuh sampai topik 'pasangan ideal'. “Kalau lo ada di posisi gue, apa yang akan lo bawa buat dia?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine [Tamat]
Teen FictionKalian pasti sudah tidak asing lagi dengan peribahasa 'Don't judge a book by its cover', bukan? Bisa saja, orang yang terlihat memiliki kehidupan sempurna ternyata mempertanyakan keadilan Tuhan. Bisa saja, orang yang berandalan yang tidak tahu atura...