Berulang kali Sakti melirik ke belakang. Kakinya melangkah dengan cepat menuju halaman belakang sekolah. Saat mendapati tidak ada siapa-siapa yang mengikuti, Sakti tersenyum penuh kemenangan. Dia akan membiarkan taman belakang sekolah menjadi surga tersembunyi. Karena dengan begitu, keindahannya akan tetap terjaga.
Langkah penuh semangat Sakti mendadak terhenti saat ia mendapati seseorang sedang berjongkok memperhatikan rumput liar. Dengan kaki yang terus melangkah, tangan Sakti tanpa interupsi memegang kamera yang menggantung di lehernya. Tepat 1 detik sebelum telunjuk Sakti menekan tombol shutter, orang itu menoleh dengan wajah polosnya.
"Eh, hai? Kita ketemu lagi," sapa orang itu sembari berdiri. Dia tersenyum tipis pada Sakti. "Kak Sakti suka foto-foto?"
Sakti segera tersadar. Dia menurunkan kembali kameranya dan mengusap leher karena malu. "Em ... iya, gue suka foto." Dia tahu gue ambil foto dia enggak, ya? Sakti membatin. Lalu, dia menunduk, melihat apa yang menjadi pusat perhatian orang di hadapannya. "Bunga amaranth?"
Luna—orang yang ada di hadapan Sakti—mengikuti arah pandang laki-laki itu. "Iya, Gomphrena globosa. Bunga lambang cinta abadi dan tak tergantikan," jawab Luna. Kemudian, dia kembali menatap Sakti. Ia hrus mengangkat kepalanya karena tinggi Sakti ada di atasnya. "Kak Sakti kenapa ada di sini? Bukannya masih belajar, ya?"
"Emang." Sakti mengangguk dengan enteng. Sekarang masih pukul 09.10, masih ada 1 jam pelajaran lagi menuju istirahat. "Gue enggak suka pelajaran biologi. Jadi, gue bolos."
Bibir Luna langsung menganga. Begitu mudah untuk Sakti mengatakan bahwa dia bolos hanya karena tidak menyukai biologi. Tanpa ragu, tanpa malu, Sakti membolos ke halaman belakang sekolah dengan kamera analog hitam yang ada di lehernya. Bahkan, tidak ada dasi ataupun sabuk yang menempel pada tubuh Sakti. Seragamnya saja dikeluarkan, tidak ada name tag, serta atribut pengenal kelas.
"Lo sendiri ngapain di sini? Bawa tas segala." Sakti menunjuk tas maroon yang menempel di punggung Luna. "Bolos juga?" tanyanya, sangat santai.
Sontak saja mata Luna membulat. "Enak aja! Aku enggak pernah bolos!" Luna mendelik. Sakti terlalu sembarangan untuk bicara. Perlahan, matanya yang sempat membulat kembali normal. Justru, ada emosi kesedihan di sana. "Aku keluar dari sekolah."
Kepala Sakti mengangguk. "Karena lo sakit?"
Luna melakukan hal yang sama, menganggukkan kepalanya.
Kemudian, Sakti celingak-celinguk, mencari tempat untuk duduk. "Duduk di sana aja, yuk. Enggak enak banget ngobrol sambil berdiri gini." Sakti menunjuk sebuah bangku kayu yang ada di bawah pohon rindang. Keduanya melangkah beriringan menuju bangku itu.
Berulang kali Luna menarik napasnya dalam-dalam. Bibirnya terus tersenyum sembari menikmati keindahan di taman belakang ini. Tidak ada banyak siswa yang tahu taman ini, karena posisinya memang berada di halaman paling belakang. Dikelilingi oleh beberapa gudang penyimpanan peralatan belajar yang tidak terpakai. Mungkin, karena kesan angker adalah pemandangan yang pertama kali semua orang lihat, mereka jadi enggan datang. Padahal, pemandangan di belakang gudang itu sangat indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine [Tamat]
Roman pour AdolescentsKalian pasti sudah tidak asing lagi dengan peribahasa 'Don't judge a book by its cover', bukan? Bisa saja, orang yang terlihat memiliki kehidupan sempurna ternyata mempertanyakan keadilan Tuhan. Bisa saja, orang yang berandalan yang tidak tahu atura...