“Nak Sakti?” Bu Zihan yang membuka pintu untuk Sakti. “Masuk, Nak,” ucap beliau sambil membuka pintu semakin lebar. “Padahal, mau hujan, Nak Sakti masih sempat main ke sini.”
Sakti tersenyum kuda sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Iya, Tan. Emang sengaja ke sini pas mau hujan,” jawab Sakti. Ia melangkah masuk, melirik pintu kamar Luna yang masih tertutup rapat. “Luna lagi apa, Tan?”
“Kurang tahu juga, tuh. Selepas sarapan tadi, dia langsung masuk kamar. Mungkin lagi belajar, ada tugas membuat puisi dari Bu Rina,” terang Bu Zihan. “Jadi, Nak Sakti mau di sini aja atau ke kamar Luna. Nanti Tante antar minumannya.”
“Di kamar Luna aja, Tan.” Sakti senyum kuda. Kemudian, dia berpamitan menuju kamar gadis itu setelah mendapatkan izin. Dan ternyata benar, Luna sedang duduk termangu menghadap jendela dengan buku dan pulpen di atas pangkuannya. “Jangan mikir terlalu keras, nanti urat-uratnya putus, lho.”
Sontak saja Luna menoleh. Dia langsung tersenyum saat mendapati Sakti sedang berjalan mendekatinya. Ada yang lain dari penampilan laki-laki itu hari ini. Jika biasanya Sakti menggunakan celana jeans panjang dan kaus oblong serta rambut yang tertata rapi, kali ini dia sedikit ... berantakan. Seperti baru selesai olahraga, kemudian langsung datang ke sini. Sakti masih menggunakan setelan basket lengkap dengan aroma keringat yang kuat.
“Lho, udah di sini aja, Kak,” sapa Luna, lengkap dengan senyum lebarnya. “Emang, enggak kepagian?”
“Gak, lah. Mau jam berapa pun, kalau urusannya ngapelin pacar, pasti wajar-wajar aja,” jawab Sakti dengan nada menyebalkan. Kemudian, matanya beralih pada buku yang ada di pangkuan Luna. Yang tertulis di sana masih bagian judulnya saja, belum ada satu baris puisi pun yang ditulis gadis itu. “Bingung mau tulis apa, ya?” Luna mengangguk dengan bibir yang cemberut. “Gimana kalau kita main hujan-hujanan dulu, baru nanti tulis puisi?”
Mata Luna memicing. “Oh ... jadi itu alasan Kak Sakti datang ke sini pagi-pagi? Mau ajak aku main hujan-hujanan?” Tanpa merasa berdosa, Sakti memamerkan gigi putihnya. “Aku udah mandi, sayang kalau basah lagi.”
“Nanti tinggal mandi lagi aja, Lun. Aku sengaja gak mandi di rumah, terus bawa baju ke sini, supaya bisa main hujan-hujanan sama kamu.” Secara bersamaan, keduanya menoleh ke arah jendela. Hujan baru saja turun, tetapi langsung lebat sehingga aroma tanah basah tercium ke kamar Luna. “Tuh, hujannya turun.” Sakti menunjuk halaman samping rumah Luna yang sudah setengah basah. “Mumpung gak ada papa kamu, kita bisa keliling kompleks sama anak yang lain.”
Pintu kamar Luna diketuk, membuat muda-mudi itu menoleh. Dan ternyata, Bu Zihan datang untuk mengantarkan minuman. “Pada bahas apa, sih? Kok, kayak serius begitu?”
“Tan, gak apa-apa kalau Luna hujan-hujanan, 'kan?” tanya Sakti tiba-tiba. Dan itu sudah sangat sukses membuat Bu Zihan menghentikan pergerakan tangannya untuk menyimpan minuman ke atas meja belajar. “Pasti saya jaga, kok, Tan. Kita cuma keliling-keliling kompleks, gak akan jauh-jauh.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine [Tamat]
Teen FictionKalian pasti sudah tidak asing lagi dengan peribahasa 'Don't judge a book by its cover', bukan? Bisa saja, orang yang terlihat memiliki kehidupan sempurna ternyata mempertanyakan keadilan Tuhan. Bisa saja, orang yang berandalan yang tidak tahu atura...