“Makasih udah mau jenguk Luna,” ucap Bu Zihan. Kedatangan beliau berhasil mencairkan suasana yang kurang nyaman di ruang tamu. Tangan Bu Zihan dengan lihai menata cangkir teh hangat di atas meja. “Sakitnya Luna emang agak beda dari yang lain. Jadi, Tante harap kalian memaklumi perubahan penampilan Luna.”
“Tante tenang aja. Luna masih kelihatan cantik, kok.” Jawaban Rio sukses membuat Sakti memutar bola matanya malas. “Luna juga udah kasih tahu saya mengenai penyakitnya. Saya percaya, dia bisa melewati semua ini. Luna perempuan yang kuat, Tan.” Setiap kata yang diucapkan Rio penuh dengan ketulusan. Dia juga bertukar pandang dengan Luna, menatap gadis itu dengan begitu dalam.
Bu Zihan tersenyum lebar. “Terima kasih banyak, Nak.” Jauh di dalam lubuk hatinya, Bu Zihan bersyukur ada banyak orang yang mempedulikan putri semata wayangnya. “Kalau begitu, Tante pamit ke belakang dulu, ya. Silakan dinikmati cemilannya. Kalau masih kurang, jangan sungkan buat ambil di belakang.”
“Makasih banyak, Tante,” ucap Miqdad sebelum mama Luna pergi ke belakang. Dan begitu Bu Zihan tidak terlihat, Miqdad langsung menyeruput teh hangat yang da di hadapannya. “Gue terima, ya, Lun. Udaranya dingin banget, gue butuh yang hangat-hangat.” Luna hanya terkekeh melihat kelakuan Miqdad itu.
Sakti langsung pindah, menjadi duduk di samping Luna. “Gak mau pakai baju hangat aja? Udaranya lumayan dingin, lho. Aku gak mau kamu sakit.”
Aku emang lagi gak baik-baik aja, Kak. Maaf, aku gak bisa kasih tahu Kak Sakti. Luna tersenyum kecut sambil menundukkan kepala. Lalu, dia menggeleng. “Gak begitu dingin, kok. Kalau nanti udah gak kuat, aku tinggal pakai jaket.” Sebuah ide muncul di kepala Luna. “Gimana kalau kita ngobrol di halaman samping aja? Di sana udaranya lebih terbuka, pasti gak sumpek.”
Semua orang mengangguk setuju, kemudian beranjak dari duduk mereka dan segera mengekori Luna. Sakti sampai melepas hoodie miliknya untuk bisa melindungi Luna dari dinginnya udara pagi itu. Sebentar lagi akan turun hujan, Sakti tidak mau Luna sakit. Cukup saja kemarin mereka hujan-hujanan sampai bibir Luna membiru. Namun, Sakti bisa yakini, gadis itu sangat bahagia keinginan dari semasa kecilnya menjadi nyata.
“Luna,” panggil Rio tiba-tiba, membuat sang empu nama itu menoleh. Dia bergerak mengeluarkan sebuah benda kecil dari saku jaketnya. “Kamu pernah bilang kalau musik klasik bisa bikin kamu semangat belajar. Aku udah download banyak musik klasik di sini, buat kamu.”
Untuk beberapa saat Luna hanya memandangi MP3 yang ada di tangan Rio. Dia sama sekali tidak menyangka laki-laki tu masih mengingat perkataannya saat mereka dekat dulu. Bukan hanya membantu Luna untuk belajar, musik klasik juga membuat Luna merasa tenang. “Makasih, Kak,” ucap Luna sembari menerima MP3 itu.
“Kedatangan aku bikin kamu kaget, ya?” Mereka melanjutkan langkah, menyusul Sakti dan Miqdad yang sudah lebih dulu duduk di gazebo sembari mengagumi pemandangan taman yang penuh warna. “Udah lama aku mau datang ke rumah kamu, tapi gak tahu alamatnya. Selain itu, aku tahu diri aja, kamu udah punya Sakti. Berulang kali aku berharap bisa ketemu kamu di tengah jalan, tapi gak pernah ketemu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine [Tamat]
Teen FictionKalian pasti sudah tidak asing lagi dengan peribahasa 'Don't judge a book by its cover', bukan? Bisa saja, orang yang terlihat memiliki kehidupan sempurna ternyata mempertanyakan keadilan Tuhan. Bisa saja, orang yang berandalan yang tidak tahu atura...