“Pokoknya, Sakti minta sama Ayah untuk enggak pandang Luna dengan tatapan heran atau kasihan. Ayah harus bisa tatap Luna dengan bangga, soalnya dia pacar Sakti yang paling sempurna.”
Itu adalah pesan Sakti untuk ayahnya, dan Pak Hilman sudah melakukan latihan sejak 2 hari yang lalu. Supaya beliau bisa menatap Luna dengan penuh bangga.
“Awas aja lo nanya yang enggak-enggak sama cewek gue. Gak peduli sebesar apa rasa penasaran lo, jangan nanya apa pun yang bikin Luna sakit hati. Kalau mulut lo sampai lolos, gue gak akan kasih pinjam printer gue lagi!”
Yang ini ancaman keras untuk Bunga yang sering kehilangan rem saat bicara. Sebenarnya, Bunga penasaran mengapa Sakti sampai mewanti-wanti demikian, tetapi ciut dengan ancaman tidak akan dipinjamkan lagi printer foto miliknya.
“Bi Minem, ganti nasi biasa pakai nasi jagung. Harus ada sayur juga, jangan kebanyakan masakan berminyak. Terus, nanti Bibi jangan banyak bicara yang enggak-enggak sama pacar Sakti, ya? Sakti janji, nanti Sakti kasih tanda tangan Nikita Mirzani.”
Bi Minem tidak akan lupa wajah serius Sakti saat berpesan demikian. Beliau semangat, karena diiming-imingi tanda tangan idolanya.
Dan begitu suara deru mobil terdengar di halaman depan rumah, ketiganya langsung bersiap untuk menyambut kedatangan Luna. Mereka bergegas menuju ruang tamu, berlatih tersenyum setulus mungkin, dan memastikan tidak akan salah bicara pada Luna nantinya.
Hanya saja, saat pintu terbuka, menampilkan Sakti yang datang bersama perempuan mengenakan bluoson dress hijau floral ungu panjang dengan rambut yang digerai. Ketiganya mendadak mematung seketika. Perempuan itu berbeda dengan yang Bunga kenal, Bi Minem ingat, dan Pak Hilman bayangkan.
“Sak, yang lo bawa ini—”
“Ekhem!” Sebelum Bunga melanjutkan ucapannya, Sakti sudah lebih dulu berdeham. Dia mengangkat alisnya sedikit demi sedikit, memberi kode supaya semua orang melakukan seperti yang sudah dia minta kemarin.
Pak Hilman maju menghampiri Luna. “Selamat datang di kediaman kami ... Luna,” sapa Pak Hilman setengah ragu. Beliau berusaha menyembunyikan keterkejutannya dengan menampilkan senyum andalan seperti saat berusaha memenangkan tender. “Om ayahnya Sakti sama Bunga, panggil aja Om Hilman.”
Tidak peduli seberapa keras laki-laki paruh baya di hadapannya berusaha menyembunyikan, Luna tetap bisa melihat keterkejutan itu. Luna tersenyum, menjabat tangan Pak Hilman yang sudah terulur terlebih dahulu. “Luna, Om. Teman dekat—”
“Pacar Sakti,” koreksi Sakti dengan cepat. Dia meringis saat Luna menyikut perutnya. “Emang begitu kenyataannya, 'kan? Gak boleh bohong sama orang tua, lho. Pamali.” Kemudian, Sakti melirik Bunga yang masih mematung dengan wajah bodoh. Sambil mengetatkan rahangnya, Sakti bersuara, “Bunga, lo enggak mau salaman sama Luna, gitu? Sini, jangan malu-malu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine [Tamat]
Подростковая литератураKalian pasti sudah tidak asing lagi dengan peribahasa 'Don't judge a book by its cover', bukan? Bisa saja, orang yang terlihat memiliki kehidupan sempurna ternyata mempertanyakan keadilan Tuhan. Bisa saja, orang yang berandalan yang tidak tahu atura...