“Jangan, Kak! Pinggul aku sakit!” Itu adalah teriakan Luna saat Sakti hendak mengangkat tubuhnya.
“Rasanya sakit, Kak.” Luna sudah menangis deras. Tangannya terus memegang pinggulnya, sumber rasa sakit yang membuatnya putus asa.
Dan kalimat terakhir yang diucapkan gadis itu adalah ; “ini sakit banget.”
Seharusnya, hari itu menjadi hari yang paling membahagiakan di tahun ini, untuk Luna. Seharusnya, yang dia panjatkan saat itu adalah doa, bukan erangan yang mengekspresikan seribu sakit yang menyiksa tubuhnya. Seharusnya, Luna tertawa bahagia, bukan menangis. Seharusnya, Sakti ada di sana, tidak meninggalkan Luna sendirian.
Tok ... tok ....
Perlahan, mata terpejam Sakti terbuka. Untuk beberapa saat, dia hanya menatap tembok kelas dengan tatapan kosong. Lalu, kepalanya menengadah, mendapati seseorang sedang berdiri di hadapannya. “Lo siapa?”
“Gue Rio, anak IPA 2. Lo Sakti, 'kan?” Orang itu balik bertanya. Dia melihat Sakti menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. “Lo punya waktu senggang? Ada yang mau gue bicarakan.” Tadinya, Sakti akan kembali memejamkan matanya. Namun, sebuah nama berhasil mengurungkan niatnya. “Tentang Luna.”
Saat itu juga, Sakti mendapatkan kesadarannya. Tentang Luna, hanya 2 kata, tetapi berhasil membuat dunia Sakti jungkir balik. Diam-diam, Sakti berusaha mengingat wajah orang yang da di hadapannya. Jika ia tidak salah mengingat, laki-laki ini selalu berdiri di depan gerbang untuk memeriksa kerapihan penampilan para siswa. Dia juga yang selalu menjadi pemimpin upacara di hari Senin. Rio, rasanya, Sakti tidak asing dengan nama itu.
Sakti membenarkan duduknya menjadi tegap, bersandar pada kursi. “Lo ada hubungan apa sama Luna?” Baiklah, Sakti sudah terdengar seperti laki-laki yang menginterogasi laki-laki lain yang memiliki hubungan dengan kekasihnya.
“Gue enggak tahu harus kasih nama apa sama hubungan gue dengan Luna. Tapi, yang jelas, dia bukan sembarangan orang buat gue,” jawab Rio dengan sangat tenang, tetapi jelas ada nada tegas di sana. “Jadi, bisa kita bicara? Di tempat lain? Rasanya, kurang nyaman kalau kita harus bicara di sini.”
Kepala Sakti mengangguk, mengiyakan. Dia segera berdiri dan berjalan mengekori laki-laki yang da di hadapannya. Luna cantik, siswa berprestasi, memiliki kepribadian yang bagus, wajar jika laki-laki bernama Rio ini tertarik padanya. Apalagi, seperti yang dikatakan Bunga, Rio dalah ketua OSIS. Juara umum kelas 11 dengan ketua OSIS yang menegakkan tata tertib sekolah, mereka akan sangat serasi jika sampai menjalin kasih.
Namun, tunggu! Mengapa Sakti tidak suka hanya dengan membayangkannya?
“Sebelumnya, gue minta maaf udah ganggu tidur lo. Tapi, gue udah enggak bisa lagi menahan rasa penasaran gue.” Sekarang, mereka sudah berada di samping mushola. Tempat yang cukup sepi karena perhatian seluruh siswa saat ini sedang tertuju ke kantin. “Dan yang gue dengar, lo punya hubungan khusus sama Luna.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine [Tamat]
Teen FictionKalian pasti sudah tidak asing lagi dengan peribahasa 'Don't judge a book by its cover', bukan? Bisa saja, orang yang terlihat memiliki kehidupan sempurna ternyata mempertanyakan keadilan Tuhan. Bisa saja, orang yang berandalan yang tidak tahu atura...