Langkah Sakti terkesan diseret. Wajahnya lesu, tidak ada cahaya sama sekali. Rambut yang biasanya rapi kini berantakan tak berbentuk. Baju koko putih yang menyelimuti tubuh tegapnya terlihat begitu menyedihkan. Peci yang seharusnya menutupi kepala, digenggam dengan begitu erat, seakan menjadi pelampiasan perasaan yang ada di hatinya.
“Sak, makan dulu, yuk? Bi Minem bikin sup ayam kesukaan kamu, lho,” ucap Pak Hilman. Beliau tersenyum, berusaha meyakinkan Sakti bahwa hal yang harus dia lakukan saat ini adalah mengisi perut di meja makan. Namun, beliau harus menahan kekecewaan saat putra sulungnya itu menggelengkan kepala.
“Gak lapar, Yah. Ayah makan duluan aja, Sakti nanti,” jawab Sakti dengan suara yang begitu menyedihkan. “Jangan ada yang ganggu Sakti dulu, ya? Sakti mau menenangkan diri.”
Setelah mengucapkan itu, Sakti berlalu meninggalkan ayahnya. Dia berjalan menuju kamar, lalu mengunci pintu rapat-rapat. Deru napasnya terdengar lirih, saking sepinya kamar Sakti saat ini. Dia hanya terduduk di ujung ranjang sembari memandangi kado berpita merah yang belum dibuka. Itu kado ulang tahun dari Luna, pemberian terakhirnya.
“Aku kangen kamu, Lun. Kamu baik-baik aja sekarang, 'kan? Gak sakit lagi, 'kan?” tanya Sakti pada angin malam yang membuat kamarnya terasa begitu dingin. Baru beberapa jam dia berpisah dengan Luna, tetapi rindu sudah terasa begitu menyiksa. “Baik-baik di sana, ya, Lun.”
Lalu, dengan pergerakan yang begitu lambat, Sakti mengambil kado ulang tahun dari Luna dari atas nakas. Dengan penuh hati-hati, dia menarik pita merah itu, lalu membuka kotak kadonya. Ternyata itu adalah kamera Canon AE-1 yang selama ini menjadi kamera impian Sakti. Ada juga sebuah album kecil berwarna merah muda di sana, lengkap dengan sepucuk surat yang ditulis di kertas bermotif bunga amaranth.
Untuk orang yang sangat aku sayangi,
Selamat ulang tahun, ya, Sakti Gentala.Baru 2 baris yang Sakti baca, dan adanya begitu menyayat hati. Kenangan beberapa bulan lalu kembali terngiang di kepala Sakti.
“Sakti Gentala.” Luna mengeja nama yang ada di sampul buku tugas matematika Sakti. “Nama Kak Sakti unik ternyata. Jarang yang pakai nama ini, lho.”
“Iya, lah. Kan, bunda aku kreatif, cari nama anaknya yang enggak pasaran,” imbuh Sakti dengan penuh percaya diri. Bahkan, dia telah membusungkan dada dan mengangkat dagunya tinggi-tinggi.
Luna terkekeh melihat wajah berbangga Sakti. Bundanya yang kreatif, dia yang menyombongkan diri. “Artinya apa?” tanya Luna tiba-tiba. “Arti dari Sakti Gentala itu apa?”
“Naga yang memiliki kekuatan besar. Kata ayah begitu, sih.” Sakti mengangguk-anggukkan kepala, berusaha mengingat kembali arti nama yang dikaruniakan sang bunda. Karena sekitar 8 tahun yang lalu dia menanyakan hal itu. “Kata ayah, mereka berharap aku tumbuh menjadi laki-laki kuat. Terus, kayak naga juga. Melindungi orang-orang di sekitarnya, bertanggung jawab, bijaksana. Gitu mungkin, aku lupa.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine [Tamat]
Genç KurguKalian pasti sudah tidak asing lagi dengan peribahasa 'Don't judge a book by its cover', bukan? Bisa saja, orang yang terlihat memiliki kehidupan sempurna ternyata mempertanyakan keadilan Tuhan. Bisa saja, orang yang berandalan yang tidak tahu atura...