Berulang kali Sakti memeriksa ponselnya yang ada di bawah meja. Dia berusaha melakukan pergerakan seapik mungkin sehingga Pak Imam—guru matematika yang sedang mengajar—tidak menyadari gelagatnya. Sakti harus membagi fokus antara sederetan angka di papan tulis dan juga sebuah room chat yang ada di layar ponselnya.
"Lo udah punya pacar, ya, Sak?" tanya Miqdad tiba-tiba. Suaranya begitu pelan, karena takut menarik perhatian Pak Imam juga.
"Hah?" Sakti mengernyit heran. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba Miqdad bertanya demikian. "Kenapa nanya gitu?" Bukannya menjawab, Sakti malah balik bertanya.
Miqdad mendekatkan tubuhnya ke arah Sakti. Matanya tertuju ke papan tulis, tetapi dia sudah tidak bisa lagi menahan rasa penasaran ini. "Sekarang, lo enggak bolos-bolos lagi, tugas juga dikerjakan, pakai seragam yang rapi mulu. Belum lagi, gue lihat dari tadi, lo cek HP mulu. Apa lagi kalau bukan lo punya pacar?"
Sakti menyikut perut Miqdad sampai sahabatnya itu menjauh. Beberapa orang yang ada di dekat mereka sempat melirik, kemudian kembali fokus ke papan tulis. "Gak usah ngaco, deh. Emang lo pernah lihat gue dekat sama cewek? Pacar gue itu cuma si Koni." Jangan heran, Koni adalah nama kamera analog kesayangan Sakti.
Sesekali Miqdad meringis, dia mengusap perut yang baru saja disikut sahabat kecilnya itu. "Lagian, lo aneh banget. Gue udah kenal lo bertahun-tahun, mana ada lo mau insyaf begini? Biasanya, seseorang mau berubah kalau ada orang lain yang jadi pendorong kuat."
Mata Sakti memicing. Dia hanya geleng-geleng kepala, lalu lanjut menuliskan materi yang ada di papan tulis. Pemikiran Miqdad ini terlalu picisan. Bukan seorang perempuan yang membuat Sakti mau sekolah dengan benar, mengerjakan tugas, bahkan sampai berpenampilan rapi, melainkan kamera analog yang dijanjikan ayahnya. Hanya saja untuk terus melirik ponsel, Sakti punya alasan lain.
Dia sedang menunggu balasan pesan dari Luna.
Tidak seperti lelaki buaya yang langsung membombardir Luna dengan pesan tidak penting, Sakti hanya menghubunginya tadi malam. Itupun singkat. 'Pulang sekolah besok, gue tunggu lo di taman yang kemarin', hanya itu. Bukan Sakti juga yang mengajak bertemu, mereka memang sudah janjian minggu lalu. Dan sudah 15 jam menunggu, tidak ada jawaban dari gadis itu. Padahal, sekitar 5 jam yang lalu Luna online.
"Sakti?"
"Iya, Pak?" sahut Sakti dengan cepat saat Pak Imam memanggilnya.
Pak Imam menunjuk setumpuk buku tulis yang ada di mejanya. "Kamu bawa bukunya ke meja saya, ya. Sekarang."
Mau tidak mau, Sakti tetap bangkit dari duduknya dan segera maju ke meja guru. Dia membawa setumpuk buku latihan matematika dan segera mengekori Pak Imam menuju ruang guru. Akhir-akhir ini para guru memang sering memerintahnya melakukan ini dan itu. Seakan ingin membalas ulah Sakti selama ini.
"Anak murid Pak Imam yang selalu juara umum itu pindah, Pak?" tanya Bu Eva, guru fisika yang mengajar kelas 10. "Saya dengar juga karena sakit, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine [Tamat]
Teen FictionKalian pasti sudah tidak asing lagi dengan peribahasa 'Don't judge a book by its cover', bukan? Bisa saja, orang yang terlihat memiliki kehidupan sempurna ternyata mempertanyakan keadilan Tuhan. Bisa saja, orang yang berandalan yang tidak tahu atura...