1

4.9K 379 100
                                    

Hiruk piruk di Stasiun Gambir membuat para penumpang agaknya semakin menerapkan protokol kesehatan. Si gadis dengan balutan tunik polos berwarna navy, rok plisket dan jilbab syar’i cokelat susu yang membungkus mahkota indahnya tengah memegang erat koper hitamnya.

“Selamat sampai tujuan ya Ra, kalau sudah sampai Pasar Turi segera wa kita.”

Si gadis yang di beri petuah hanya mengangguk singkat. “Oke, kalian juga hati-hati kembali ke Bogor. Gak usah mampir kemana-mana langsung balik ke kontrakan.”

“Mumpung malam minggu jalan-jalan di Jakarta dulu kan Rin?”

Si gadis berkacamata dengan jilbab paris berwarna merah itu mengangguk setuju. “Mumpung ustazahnya sudah pulang ya No, bisa lah tiga hari kita pulang telat.”

Sakura berkacak pinggang dengan pandangan tidak sukanya. “Siapa yang dibilang ustazah? Tiga hari lagi akan puasa lebih baik kalian persiapkan diri bukan malah keluyuran.”

“Iya iya mbok de Sakura.”

“Ino!”

Ino cemberut kesal. “Habisnya aku kan iri, enak banget kantormu dapat libur tiga hari awal puasa. Di kantorku liburnya hanya Selasa depan, sehari doang apa-apan itu.”

“Sudah gak usah ngeluh, Allah pasti punya rencana lain untuk Ino dan Karin. Yang penting lebaran nanti kita bisa pulang bareng-bareng.”

“Ya sudah sana masuk, kereta mu sebentar lagi datang.”

Sakura mengangguk kecil. Pandangannya kini bergulir ke arah Karin yang masih enggan meninggalkan celana jeans, dan ia akan selalu mendoakan temannya itu agar secepatnya memantapkan hatinya untuk menyusul Ino yang mulai mengenakan rok.

“Karin titip Ino ya, dia paling bangkong kalau urusan sahur hari pertama.”

“Jangan khawatir, aku akan memasukkan sebaskom air ke kulkas untuk persiapan nyiram wajahnya.”

“Terbaik memang emak kita ini,” Sakura tersenyum kecil lantas memeluk sahabatnya bergantian. “ya sudah aku berangkat ya assalamu’alaikum.”

Wa’alaikumsalam.”

“Eh Ra jangan lupa blewah asli kampung titipan ku ya.” Teriak Ino.

Karin hanya mendengus malas, padahal di Bogor banyak penjual blewah namun Ino masih kekuh minta dibawakan dari kampung dengan alasan rasanya beda. Ia melambaikan tangannya mengiringi kepergian Sakura yang mulai memasuki stasiun, sejujurnya ia juga begitu merindukan keluarganya di kampung halaman.

Dua sahabat itu melangkahkan kaki keluar stasiun, gerakan mereka terhenti kala menangkap sosok yang dikenalinya tengah terburu sembari menyeret koper. Di belakangnya tak lupa kawan sejatinya yang setia ngintil.

“Eh bukannya itu si Sasuke dan Naruto ya?”

Karin membenarkan letak framenya yang melorot. “Perasaan mereka kerja di Jogja deh, atau pindah tugas ke Jabodetabek?”

“Ya Allah jangan bilang mereka mau pulang ke Surabaya juga?” Ino buru-buru merogoh ponselnya. “Sakura harus dikabari nih biar bisa pendekatan lagi.”

“Gak usah No, lo gak tau apa dia sudah hijrah ke jalan yang lurus. Sakura gak bakalan kepincut lagi sama laki-laki modelan Sasuke,” Karin menyeret lengan kanan Ino. “lagipula nih ya jodohnya Sakura sudah di tulis sama Allah, jadi gak usah neko-neko.”

“Jodoh juga harus diusahakan kali Rin.”

“Terserah mu deh titisan setan.”

“Awas lo ya ku kasih tahu Sakura biar diceramahin sampai sore. Lisan itu harus dijaga bego, bagaimana kalau ada malaikat lewat dan ngaminin perkataan mu itu.”

Arti [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang