21

1.5K 237 89
                                    

Ramadhan kali ini sudah memasuki sepuluh hari terakhir. Di mana dalam salah satu harinya terdapat malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Ibadah, sedekah, dan segala kebaikan akan dilipat gandakan, beruntunglah orang-orang yang bisa menjemput dan menunaikan segala kebaikan pada malam Lailatul Qadar.

Beberapa warga kompleks disibukkan dengan agenda selamatan menjelang lebaran, sebutannya pun beragam ada yang bilang meggengan, ngirim nduwo, atau arwahan. Terlepas dari itu semua ada banyak hal positif dari kegiatan tersebut, menyisihkan sebagian uang untuk membuat makanan lantas disedekahkan ke tetangga sekitar.

Menjelang dan selepas maghrib pun anak-anak kecil semakin bersemangat bermain petasan. Hal ini agaknya membuat Sakura mengintip dari jendela ruang tamunya dengan senyum lebarnya. Kapan terakhir kali ia bermain petasan, atau iseng melempar petasan ke arah teman-temannya.

“Ada orang salam dari tadi gak dijawab malah sibuk ngintip,” Sindiran Sasori membuat Sakura menutup kelambu jendela dengan malas. Jidatnya mengernyit melihat masnya merogoh sagu belakang. “keluar sana ikut main petasan sama bocah-bocah, nih aku kasih seribu.”

“Gak sekalian lima ratus rupiah saja mas?”

“Kayaknya ada deh uang koin lima ratusanku,” Tangan kanan Sasori merogoh saku depan celananya lantas mengeluarkan satu uang koin. “ikhlas lahir batin, ambil aja dek.”

“Gak urus mas Sasori, nyebelin,” ujar Sakura sedikit kesal.

Sasori hanya menggeleng pelan melihat kepergian adeknya menuju dapur dengan kaki yang dihentak-hentakkan. Pria dewasa itu bergegas melangkah ke kamar, menyimpan tas kerjanya lantas menyegerakan tubuh.

Alhamdulillah datang juga anak gadis, ini coba bantuin motong ubi rambat,” ujar Mebuki sembari menyerahkan sebatang ubi rambat kuning yang sudah di kupas.

“Mau buat kolak buk?”

“Bener.”

Sakura segera mendudukkan diri di kursi kayu lantas mulai memotong kecil-kecil ubi rambat. “Gak usah pake tape ya buk, nanti kecut.”

“Malah enak pake tape seger. Ayah sama mas mu aja suka kok kamu gak suka sendiri sih, nurun siapa emang?”

“Gak gitu konsepnya kali buk.”

Mebuki mengambil panci sedang, mengisinya dengan air lantas merebusnya. “Adek kalau udah selesai motong tolong beliin gula merah di toko mbak Kurenai ya?”

“Kembaliannya beli chiki boleh?”

“Gak ada kembalian ibuk kasih uang pas nanti.”

“Tadi di kasih uang sok nolak,” ujar Sasori yang tiba-tiba nimbrung. Lelaki itu berdiri di depan kamar mandi dengan handuk yang mengalungi lehernya.

“Di kasih uang apaan, cuma lima ratus rupiah mah dapat apa?” Sakura kembali mengambil ubi rambat lantas memotongnya. “emang mas Sasori itu pelit sama adek sendiri, coba kalau sama temannya sok dermawan.”

“Nah ini nih ajaran adeknya Itachi akhirnya dipake, berani lawan masnya sendiri.”

“Gak usah bawa-bawa Sasuke ya.”

“Belain aja terus itu calon suamimu.”

“Mas Sasori!”

“Mas Sasori masuk kamar mandi!” Mebuki berujar tegas lantas menarik laci dapurnya mengeluarkan lembaran uang lima puluh ribuan. Kepalanya mulai berdenyut mendapati kedua anaknya yang awalnya bahas uang eh malah nyerempet ke mana-mana. “adek ke toko mbak Kurenai sekarang, tolong beliin gula merah setengah kilo kembaliannya terserah mau buat apa.”

Arti [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang