Sakura duduk anteng sembari mengangkat kedua tangannya, dengan balutan mukenah warna putih ia bermunajat pada Sang Kuasa pemilik hati. Hiruk piruk tawa anak-anak dan petasan di luar rumahnya tak sedikitpun mengusik waktu berduaan dengan Sang Pencipta selepas sholat maghrib.
“Rabbighfirli wliwalidayya warhamhuma kamaa rabbayani saghira. Ya Allah, terima kasih banyak atas segala nikmat mu di bulan penuh berkah ini. Hal ini benar-benar diluar kuasa hamba, tapi tidak ada yang mustahil untukmu ya Rabb. Permudahkanlah urusan kami untuk menyempurnakan agamaMu, lindungilah kami dari tipu daya muslihat setan. Engkaulah sebaik-baik pelindung, laa hawla wa laa quwwata illa billah.”
Sakura melepas mukenah, menggantung di belakang pintu kamarnya lantas merapikan penampilannya yang berbalut kaos oblong peach dipadu celana training hitam, zaman SMA dulu. Ia bergegas melangkah ke dapur sebelum ibunya mengomeli mengatasnamakan mau nikah.
“Lama banget sih dek, emang curhat apa saja sama Allah.” Gerutu Sasori yang sudah tidak sabar untuk makan malam, pasalnya ia ada janji dengan Sandi’olo untuk memastikan persiapan masjid.
“Gak usah kepo itu urusanku sama Allah,” Sakura mendudukkan diri di samping kursi Sasori lantas mengambil secentong nasi. “ayah, nanti beneran boleh tarawih di masjid kan? Apa nanti pas sholat juga harus jaga jarak?”
“Kenapa tanya ayah? Lha wong mas mu itu pengurus masjid.”
“Ogah tanya mas Sasori jawabannya muter-muter kayak kitiran.”
“Heleh, palingan tarawih nanti mau dengar suara si Sasuke kan?” Cibir Sasori.
Sakura mengambil seiris tempe dan ayam goreng. “Memangnya dia kenapa?”
“Ulu ulu yang mau nikah pake dia diaan segala.”
“Ayah, mas Sasori itu nah nyebelin banget jadi orang.”
Mebuki mendudukkan diri pada kursi kosong. “Kalian ini sudah besar pun masih suka bertengkar, lebih baik kita makan lalu bersiap ke masjid biasanya kalau hari pertama ini sampai tumpah-tumpah yang datang.”
Titah dari Mebuki membuat penghuni rumah mengangkat rendah kedua tangan mereka lantas melafalkan doa sebelum menyantap makan malam.
Sasori tersenyum kecut, kapan lagi coba ia bisa begini sama adiknya. Sudah kerjanya jauh, jarang di rumah, eh liburan sebentar di lamar orang. Meskipun ia suka jahil, sejatinya ia begitu sayang sama adik perempuannya dan ia pasti akan merindukan masa-masa begini.
Sasori mencomot asal ayam goreng yang ada di piring Sakura lantas menggigitnya membuat si empu merajuk kesal.
“Ayah, mas Sasori ngambil ayam ku!”
Dan Sasori hanya bisa berdoa semoga Allah meridhoi dan memberkahi pernikahan adiknya.
***
Pandangan Sakura sibuk mencari tempat kosong di dalam masjid yang ternyata nihil, ia lebih heran lagi kala orang tua dan ibu-ibu yang biasa menempati tempat di dalam kini malah di penuhi gadis-gadis muda. Jidatnya mengernyit kala gadis-gadis muda itu mencoba mengintip dari balik tirai hijau yang membatasi shaf antara laki-laki dan perempuan.
“Di dalam penuh bu.”
“Ya sudah di luar saja, ayo buruan sebelum gak dapat tempat lagi.”
Sakura menuruni tujuh anak tangga masjid lantas mencari tempat di gelaran terpal yang membentang di halaman masjid. Ia hendak menggelar sajadahnya namun terhenti oleh panggilan calon mertua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arti [✓]
Любовные романыPerjuangan dua insan untuk menghalalkan segala aktifitas mereka di hadapan Allah © Masashi Kishimoto