Di ruang kerja Nevan yang berada di kantor Kalandra Group, Raline sibuk membaca ebook di ponsel pintarnya.
Berprofesi sebagai dokter membuat Raline harus terus-terusan belajar karena terkadang banyak penyakit baru lagi yang muncul.
Ya, meskipun Raline dokter spesialis kandungan. Tidak menutup kemungkinan akan ada kelainan-kelainan atau penyakit yang menimpa kandungan seseorang, bukan?
Ketika Raline sibuk dengan ponselnya di sofa, Nevan sibuk dengan laptopnya di meja kerjanya.
Mereka berdua nampak fokus dengan pekerjaan masing-masing. Suasana ruang kerja itu hening tanpa suara. Mungkin, jika malam hari, akan ada suara jangkrik yang mengganggu.
"Ra, mau makan apa?" Nevan membuka suara sambil mengalihkan pandangannya pada Raline. Sedetik kemudian, senyumnya mengembang.
Melihat Raline yang sedang fokus, bahkan sepertinya tidak mendengar ucapannya, membuat Nevan mengingat momen sewaktu mereka SMA.
Jika Nevan meminta Raline mengajarinya mata pelajaran yang tidak ia mengerti, seperti itulah wajah Raline. Fokus. Kening mengkerut, mulut meracau. Menghiraukan sekelilingnya.
Nevan berjalan mendekati sofa yang ada di ruang kerjanya. Saat Nevan berdiri di sebelah sofa itu, Raline tidak juga menyadari keberadaannya. Lantas, Nevan mengusap puncak kepala Raline sambil terkekeh pelan.
"Eh? Kenapa, Nev?" tanya Raline yang baru tersadar. Dia mendongak menatap Nevan.
"Serius banget," kata Nevan. Ia ikut duduk di sofa.
"Sorry, aku baru dikirimin ebook sama dokter senior. Katanya ada penelitian baru tentang penyakit kandungan yang harus dipelajari."
"Susah ya jadi dokter?"
"Iya."
"Tapi, kamu enjoy kan sama pekerjaan kamu?"
Tanpa ragu, Raline mengangguk cepat. "Aku suka bayi. Ngelihat para ibu melahirkan juga bikin aku terus-terusan sadar bagaimana perjuangan mama dulu ngelahirin aku, dengan begitu aku nggak akan berani ngebantah atau kurang ajar sama mama."
"Kamu gimana? Enjoy sama pekerjaan kamu?" tanya Raline balik karena Nevan tidak lagi bicara.
"Of course, Ra," jawab Nevan. "Kamu tau nggak apa yang paling menyenangkan dari pekerjaan aku?"
"Apa?"
"Lihat raut bahagia orang-orang waktu mereka mendeskripsikan rumah impiannya. Dan, aku, sebagai arsitek, bisa bantu mereka mewujudkan rumah impian mereka. Asli deh Ra, kerja kerasku rasanya terbayar banget ketika rumah mereka jadi sesuai dengan ekspektasi mereka."
"Kamu hebat," puji Raline.
"Kamu lebih hebat."
"Semua profesi hebat."
Kalimat terakhir yang keluar dari mulut Raline membuat Nevan mengangguk setuju. Semua profesi hebat. Entah itu dokter, arsitek, guru, dosen, pengusaha dan sebagainya.
Namun, di mata Nevan, Raline tetap yang terhebat. Nevan tahu persis bagaimana perjuangan perempuan itu untuk meraih cita-citanya. Nevan juga tahu bagaimana perempuan itu harus berani keluar dari zona nyaman demi cita-citanya.
Untung saja usahanya selama ini terbayarkan. Nevan jadi ikut senang.
"Ra, mau makan apa?" Nevan melirik arloji di tangan kanannya, baru ingat lagi kalau mereka belum makan.
"Aku bikin minum ke pantry aja deh, udah sore. Tapi, pulang dari sini kita makan sate madura, ya?"
"Siap, my princess!"
"By the way, Amanda udah balik belum, ya?" tanya Raline. "Aku malas ketemu dia lagi."
"Tenang aja, dia nggak akan berani macam-macam. Amanda itu tipikal orang yang cuma berani ngerendahin kalau lawannya lebih rendah beneran. Kamu bukan lawannya dia, kamu pemenang disini."
"Kayak aku pernah lomba aja sama dia," cibir Raline.
"Lah? Emang enggak?"
Raline mengernyitkan keningnya. Bingung. "Bukannya emang enggak? Aku aja baru kenal sama dia tadi."
Tawa Nevan pecah seketika. "Lomba memperebutkan hati aku, kan?"
"Apaan sih, Nev?!"
"Sebelum lomba, kamu udah menang. Bahkan sebelum aku kenal sama Amanda, kamu udah menang, Ra."
"Udah! Aku mau bikin teh aja!" Raline langsung meninggalkan Nevan sendiri di ruangannya karena kesal digoda habis-habisan.
Nevan tertawa hingga mengeluarkan air mata karena puas menggoda Raline. Ah, pasti menyenangkan jika mereka hidup satu rumah.
***
Nevan dan Raline baru saja duduk di bawah tenda tempat penjual sate madura yang ada di pinggir jalan. Sesuai permintaan Raline.
"Ingat tempat ini?"
Raline mengangguk. Tentu saja ia ingat, tempat makan sate madura ini adalah tempat terakhir ia bertemu Nevan sebelum pindah ke Bandung.
Malam itu mereka berdebat, berujung tidak berteguran hingga hampir dua tahun.
Mungkin, jika tidak bertemu di pemakaman Sindy, mereka bahkan belum saling menyapa lagi.
"Kamu nolak aku disini," ujar Nevan lantang.
"Enggak, ya!" tukas Raline.
"Malam itu aku bilang sayang sama kamu, tapi kamu malah nuduh-nuduh aku."
"Nev, udah deh," ujar Raline tidak suka. Mereka tidak seharusnya mengingat luka lama lagi. "Yang lalu biarlah berlalu. Kamu tau sendiri kalau saat itu aku bohong demi kebaikan kita."
"Toh kalau kita ditakdirkan buat ketemu lagi, kita beneran ketemu lagi. Buktinya sekarang kita ada disini lagi buat beneran menikmati momen kan, bukan buat berantem kayak dulu?" lanjut Raline.
"Iya, maaf." Nevan nyegir tidak berdosa. "Bukan maksud aku ngingatin itu, cuma ya refleks ingat aja kalau kesini. Kamu sih, kayak ngidam aja mau makan sate madura."
"Emang nggak ada tempat jualan sate madura lain?"
"Aku nggak tau, yang aku tau disini enak."
"Yaudah."
"Ra."
"Kenapa, Nev?"
"Besok ketemu mama, ya?"
Raline berdeham pelan. Ia menatap Nevan horror karena mendengar penuturan lelaki itu. Sama seperti bertemu Wira tadi, untuk bertemu Naura—Mama Nevan, Raline masih punya rasa takut meski sebetulnya mereka sudah kenal.
Sekali lagi, keadaan sudah berbeda. Hubungan mereka juga sudah berbeda.
"Permisi, ini pesanannya."
Suara penjual sate menginterupsi mereka. Setelah sate madura yang mereka pesan sudah teronggok di atas meja, Raline pura-pura lupa bahasan dan langsung melahap makanan enak itu. "Rasanya nggak berubah," gumam Raline takjub.
"Kamu tau nggak, dulu waktu kesini aku tuh nggak lapar, rencananya mau nemenin kamu makan doang. Tapi, pas cium bau satenya, aku jadi ngiler." Raline terkekeh mengingat momen itu. Untunglah dia bukan tipe perempuan gengsian yang bilang tidak lapar padahal pingin.
Nevan diam, belum melahap satenya. Matanya masih menatap Raline intens hingga membuat perempuan itu tidak enak hati karena terus ditatap.
Raline menghela napas berat. Bagaimanapun, cepat atau lambat, ia harus siap dengan keadaan. "Iya, Nevan. Besok aku ketemu Tante Naura."
***
Follow instagram:
natasyasptnda
reyandsyanin.story***
Thankyou for reading. See you!

KAMU SEDANG MEMBACA
Revoir (Tamat)
Romance[SUDAH TERBIT - EPILOG DIHAPUS SETENGAH] 📌 Sequel RALINE. Bisa dibaca terpisah. Setelah bertahun-tahun Nevan dan Raline tidak bertemu, takdir kembali mempertemukan mereka dengan cara yang sama saat mereka pertama kali bertemu di lorong sekolah dulu...