"Berhenti bersikap seolah-olah lo benar memperjuangkan gue Kak, lo nggak capek apa setiap pagi ngabisin waktu cuma buat telfon gue berkali-kali padahal lo tau kalau nggak akan gue angkat?"
"Ra."
Salah sasaran. Raline sudah mengomel panjang tapi ternyata bukan Farel yang menelepon.
Raline menjauhkan ponselnya dari telinga, menatap nama kontak yang tertera di ponselnya. Nevan.
Menyadari Raline yang terdiam lama, Nevan membuka suara lagi, "Ra, it's me. Aku kira kamu udah ganti nomor sejak kuliah di Paris, padahal aku coba-coba aja telfon ke nomor lama kamu."
Memang, Raline tidak pernah mengubah nomor ponselnya selama sepuluh tahun ia pergi ke Paris. Di negara itu dia menggunakan nomor berbeda, tapi nomor Indonesia-nya dia titipkan pada orang tuanya dengan catatan harus dibuka sesekali dan diisi pulsa agar tidak mati.
Raline tidak tahu kenapa ia harus repot-repot mempertahankan nomor ponsel itu selama sepuluh tahun. Dia hanya ingin.
Dan betapa terkejutnya ia ketika mendengar ucapan Nevan barusan. Nevan masih menyimpan nomor ponselnya padahal jika dia orang normal pasti dia mengerti kalau nomor itu akan mati karena lama tidak digunakan oleh pemiliknya.
Sayangnya Nevan tidak normal. Nevan terus berharap akan 0,01% kemungkinan untuk kembali dipertemukan dengan Raline.
Begitu pun Raline, dia sama tidak normalnya karena masih menyimpan nomor ponsel Nevan padahal dia sendiri yang berkata kalau dia tidak bisa bersama laki-laki itu.
Mereka bodoh. Saling menyakiti dengan cara saling diam selama sepuluh tahun terakhir.
"Ra? Hallo?"
Raline menempelkan ponselnya ke sebelah telinga lagi sambil menghela napas pelan. "Kenapa, Nev?"
"Maaf kalau ganggu, aku dari tadi di depan rumah kamu, Ra."
"Seriously, Nev?! Ini masih pagi loh?!" ujar Raline frustasi. Kenapa pula Nevan itu? Apakah dia tidak tahu kalau weekend adalah hari istirahat Raline?
"Ya udah, kalau gitu aku pulang aja. Aku ngerti kok Ra, kalau kamu capek," sahutnya dengan sabar. Jujur saja Raline sedikit merasa bersalah karena Nevan sudah jauh-jauh ke rumahnya. Namun, istirahat Raline juga tidak bisa diganggu. "Selamat istirahat, ya."
Memilih tidak menjawab, Raline mematikan panggilan secara sepihak.
Cih, pasti Freya nggak bisa makanya sekarang datang ke gue. Batin Raline kesal.
***
Raline bangun lagi dari tidurnya ketika ia melihat jam yang tergantung di dinding kamarnya itu menunjukkan pukul sebelas siang.
Dia menatap ke sekeliling kamar yang baru ia rubah warna catnya menjadi abu-abu sejak dirinya pulang ke Indonesia, mencari letak ponselnya. Seingat Raline tadi ponselnya berada di atas kasur, dia menelantarkannya disana setelah memutus panggilan dari Nevan.
Tok..
Tok..
"Ra, udah bangun belum?"
Suara Lamia—Mamanya, menginterupsi pergerakan mata Raline untuk mencari ponselnya.
Raline beralih menatap pintu kamarnya sembari bertanya, "Kenapa, Ma?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Revoir (Tamat)
Storie d'amore[SUDAH TERBIT - EPILOG DIHAPUS SETENGAH] 📌 Sequel RALINE. Bisa dibaca terpisah. Setelah bertahun-tahun Nevan dan Raline tidak bertemu, takdir kembali mempertemukan mereka dengan cara yang sama saat mereka pertama kali bertemu di lorong sekolah dulu...