Bagian 16

1K 95 59
                                    

Sabtu pagi, Raline sudah siap dengan pakaian kasualnya—kemeja putih dengan garis hitam yang dimasukkan setengah ke dalam celana jeans hitam.

Dia mulai terbiasa lagi bangun pagi di hari weekend karena sejak beberapa minggu yang lalu sudah tidak ada lagi kata 'istirahat' di akhir pekannya. Pasti Nevan selalu mengacaukan jatah tidurnya, entah untuk sekedar mengobrol di teras rumah atau berjalan-jalan keliling Jakarta.

Selesai sarapan, Raline berdiri dari duduknya untuk kembali ke kamar mengambil tas.

Namun, belum sempat ia melangkah, Abrar sudah membuka suara, "Mau pergi sama Nevan lagi, Ra?"

"Iya, Pa." Raline memang sudah mengiyakan ajakan Nevan untuk bertemu hari ini dan melupakan masalah kemarin. Satu hari sudah cukup untuk Raline menenangkan diri.

Raline ingin egois dengan mempertahankan Nevan dan bersikap tak acuh pada keberadaan Freya di samping laki-laki itu. Raline tidak ingin menyesal untuk kedua kalinya.

"Kali ini mau kemana? Nggak dijemput?" tanya Lamia yang masih menyantap sarapannya.

"Ke kantor Nevan, Ma. Katanya mau minta tolong pilih-pilih desain buat rumah yang lagi dia bangun karena selera kita sama," jawab Raline. "Raline minta ketemuan di sana aja, soalnya Nevan baru sehat, kasian kalau harus jemput Raline dulu."

Mendengar itu, Abrar dan Lamia saling berpandangan penuh arti. Kemudian mereka tersenyum senang.

"Kamu pacaran sama Nevan?" tanya Lamia lagi.

"Enggak, Ma."

"Terus apa namanya kalau bukan pacaran?" Abrar mengerutkan keningnya sembari bersedekap. "Padahal jalan bareng terus, pergi kerja diantar, pulang kerja dijemput."

"Ya.. itu. Raline nggak tau, bingung."

Abrar terkekeh pelan. "Papa tim Nevan deh sekarang. Mama tim siapa? Nevan atau Farel?"

"Mama tim siapa aja yang dipilih Raline, yang penting Raline bahagia." Lamia mengedipkan sebelah matanya pada sang anak. Ikut terkekeh.

Meski umurnya sudah tidak lagi remaja, pipi Raline masih memanas ketika kedua orang tuanya menggoda soal pasangan secara terang-terangan.

Mungkin.. efek karena baru diperbolehkan pacaran sejak lulus kuliah dan baru kali ini orang tuanya tahu kalau ada lelaki yang mendekati Raline untuk lebih dari sekedar teman.

Terutama Nevan. Dulu Nevan memang meminta izin pada Abrar untuk dekat dengan Raline, tapi sebagai teman. Sejak ketemu dengan orang tua Raline lagi belakangan ini, Nevan minta izin untuk dekat dengan Raline sebagai laki-laki dan perempuan.

"Mending Nevan kalau kata Papa mah, anaknya baik, sopan, keluarganya jelas kita kenal, waktu SMA dia dekat sama Raline buat temenan juga minta izin sama Papa dulu. Kalau Farel yang katanya satu SMA sama Raline pula itu dulu nggak pernah muncul di depan Papa, ditambah lagi dia pilot, pasti sering ninggalin istri pas nikah nanti."

"Ngomong-ngomong soal Farel, dia di teras depan daritadi. Nungguin kamu Ra, mau ketemu dulu sebelum terbang ke Medan katanya," lanjut Abrar.

"Hah?!"

"Iya, ada Farel di teras depan," imbuh Lamia.

"Kenapa ya Farel nggak pernah mau diajak masuk?" Abrar menumpuk piring bekas sarapannya dengan piring bekas sarapan Lamia yang sudah kosong. Kemudian, ia menaruhnya di wastafel.

Raline menggeleng tidak tahu. Dan, tidak ingin tahu.

"Ra, walaupun Papa tim Nevan, Papa masih punya rasa simpati."

Revoir (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang