Bagian 22

981 98 39
                                    

"Oke, jadi untuk hotel yang ini akan dibuat beda sama hotel-hotel kita yang sebelumnya. Kalau di hotel sebelumnya restoran ada di lantai satu, di hotel yang baru dibangun ini restorannya diletak di rooftop biar suasananya lebih comfy. Bukan restoran formal gitu nantinya, sengaja dibuat bisa untuk nongkrong juga, gimana menurut kamu?"

Merasa tidak ada jawaban dari orang yang diajaknya bicara, kini lelaki paruh baya itu mengalihkan pandangannya dari laptop jadi fokus ke wajah laki-laki yang jauh lebih muda di depannya.

"Nev, kamu nggak dengar Papa bilang apa?" Wira menatap anaknya dengan pandangan kesal. Sia-sia mulutnya berbusa menjelaskan panjang lebar kalau yang diajak ngobrol malah melamun.

"Hah? Gimana, Ra?"

"Ra? Kamu diajak ngobrol sama Papa dari tadi tapi malah mikirin Raline?"

Wira melonggarkan dasinya, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya untuk merilekskan diri. "Ada masalah sama Raline?" tanyanya lagi.

"Enggak Pa, berantem dikit doang. Biasa."

"Serius? Sampai ngelamun gitu?"

"Iya, Pa. Serius."

"Kapan kamu dan Raline mau menikah?"

Pertanyaan Wira yang tiba-tiba itu membuat kepala Nevan semakin ingin pecah rasanya mengingat Raline saja selalu menghindarinya beberapa hari belakangan ini. Nevan belum mendapat jawaban apapun dari kebingungannya.

"Raline belum mau nikah, Pa," jawab Nevan pada akhirnya. Memang itu kenyataannya.

"Kenapa?" Wira menatap Nevan dengan dahi berkerut bingung. "Umur kalian sudah jauh dari matang, orang jaman sekarang yang seumuran kalian banyak yang sudah menikah. Kalian juga sama-sama punya pekerjaan bagus, insyaAllah rejeki ngalir terus."

"Masih ada satu dan dua hal yang masih Raline pertimbangkan, mungkin," sahut Nevan pelan, penuh keraguan.

"Nevan nggak mau nuntut dia, Pa. Nevan takut Raline pergi lagi," lanjut Nevan.

Tentu Wira tidak bodoh, dia mengenal anaknya sebaik itu karena dia melihat langsung tumbuh kembang anaknya. Dan, Wira tahu saat ini Nevan sedang benar-benar ketakutan, dia juga menangkap keraguan di mata Nevan.

Wira tahu, Nevan takut kehilangan Raline lagi dan dia mulai ragu kalau dirinya bisa sampai ke jenjang pernikahan bersama Raline.

"Nevan, perempuan itu memang rumit dimengerti. Kadang dia nunjukin kalau dia sayang banget sama kita, kadang dia malas-malasan sama kita. Tapi, disanalah perjuangannya bagi laki-laki. Kamu, sebagai lelaki, akan lebih menghargai dia nanti kalau berhasil dapatin dia karena kamu tau bagaimana susahnya ngejar dia. Udah sepuluh tahun kan kamu nungguin dia?"

Nevan mengangguk, namun tidak berniat buka suara sama sekali karena ia tahu Wira sedang memberi nasihat bukan bertanya atau yang lainnya.

"Begitu pun Raline, dia perempuan, misal pada akhirnya kamu berhasil meyakinkan dia kalau kamu benar-benar serius dan nggak akan menyakiti dia, dia bisa jadi lebih sayang sama kamu dibandingkan kamu sayang sama dia. Kamu pernah dengar kan tentang bagaimana perempuan mencintai kalau hatinya sudah memilih?"

"Dia akan memberi seluruh cintanya untuk laki-laki beruntung yang dia pilih. Sekarang, Papa berharap, kamu mau lebih berjuang untuk bikin Raline memberi seluruh cintanya sama kamu. Papa yakin, insting seorang ayah ini nggak mungkin salah kalau kalian akan benar-benar bahagia setelah menikah nanti. Kalian sudah menghabiskan waktu sepuluh tahun untuk saling meyakinkan hati kalian, pada akhirnya kalian memilih bersama yang artinya kalian sudah sama-sama yakin kalau kalian memang sebuah takdir yang akan disatukan oleh Tuhan."

Revoir (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang