Bagian 30

2.1K 129 35
                                    

Kamu baru akan merasa kalau seseorang itu berarti setelah kamu merasa kehilangan.

***

Nevan selalu memegang ucapannya.

Seperti apa yang sudah dia katakan kalau dirinya tak ingin bertemu Raline dulu, dalam satu minggu ini dia tidak sama sekali menampakkan wajahnya di depan Raline. Tidak juga menghubungi Raline.

Ponsel Raline yang biasanya satu jam sekali terdapat notifikasi pesan dari Nevan kini mendadak sepi.

Sungguh, Raline merindukan lelaki yang kadang absurd itu.

Biasanya walaupun Nevan banyak pekerjaan, sesibuk apapun dia, minimal satu jam sekali lelaki itu mengabarinya atau bercerita tentang aktivitasnya. Meski jarang dapat balasan dari Raline karena Raline bukan tipikal perempuan yang hobi berbalas pesan.

Akhir pekan kali ini, tidak ada yang tiba-tiba datang ke rumahnya untuk sekedar mengajaknya mengelilingi ibukota.

Di balkon kamarnya, Raline duduk di atas kursi rotan dengan kaki menjuntai ke lantai. Dia menyandarkan tubuhnya di bantal yang sebelumnya sempat ia taruh di belakang punggungnya agar tak langsung mengenai rotan yang berakibat pegal.

Kepala Raline mendongak demi menatap ponselnya yang ia angkat tinggi-tinggi. Iseng sih, siapa tahu signal ponselnya error makanya tidak ada pesan masuk dari Nevan.

Sedetik kemudian, Raline mendengus setelah menyadari kalau Nevan benar tidak mengubunginya. Tiga puluh menit sudah ia gunakan untuk menunggu pesan masuk dari lelaki itu, tapi semuanya sia-sia.

Andai tiga puluh menit itu Raline gunakan untuk membaca buku kedokteran, pasti ilmunya akan bertambah. Tentu saja hal itu lebih bermanfaat. Tapi, mau bagaimana lagi, gadis berusia 28 tahun itu sedang galau karena lelaki untuk pertama kalinya sejak dia hidup dan bernafas.

Sewaktu putus dari Farel saja Raline tidak galau, kenapa Nevan berani-beraninya membuat Raline seperti ini?

Tin!

Raline terlonjak kaget saat mendengar klakson nyaring dari mobil sedan yang baru saja sampai di depan pagar rumahnya. Lantas ia berdiri dan menumpukan badannya di besi pembatas balkon guna memperjelas penglihatannya.

Raline kenal mobil itu.

Kaca pintu bagian kemudi diturunkan seketika membuat sang pengemudi menyembulkan kepalanya, melambaikan tangan pada Raline yang berdiri di balkon kamarnya sambil nyengir kuda.

Melihat kelakuan sang pengemudi, Raline menggelengkan kepalanya. Raline juga sempat memberi kode pada satpam yang berjaga di gerbang rumahnya untuk membukakan pintu selagi ia turun ke lantai satu.

Sesampainya di lantai satu, rumah itu nampak sepi. Tentu saja, orang tuanya sedang kondangan.

Sebetulnya rumah Raline tidak jauh berbeda suasananya dengan rumah Nevan mengingat mereka sama-sama anak tunggal. Namun, bedanya Raline masih memutuskan tinggal bersama orang tuanya meski ia sudah bekerja.

Raline ingin memanfaatkan sisa waktunya untuk tinggal dengan kedua orang tuanya sebelum ia menikah dan harus ikut suami. Lagipula Raline pernah meninggalkan rumahnya sampai sepuluh tahun karena menempuh pendidikan serta mengejar karirnya di negri orang.

"Ra!"

Raline mengernyitkan dahi saat melihat Freya yang barusan menyapa itu masuk ke dalam rumahnya bersama Karina dan Kate. Para ibu itu tidak membawa anak-anaknya.

Sebentar, seingat Raline, tadi ia tidak melihat keberadaan dua wanita itu di dalam mobil Freya. Atau mungkin mereka duduk di bangku belakang?

"Salon yuk, Ra!" ajak Karina yang disusul anggukan Kate dan Freya.

Revoir (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang